Lihat ke Halaman Asli

Hargamu Berapa sih? Membedah Gaji Melalui Ekonomi

Diperbarui: 16 Januari 2016   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Orang secara umum selalu merasa dirinya berada di atas rata-rata, atau setidaknya selalu ingin berada di atas rata-rata. Caranya pun bervariasi dari dengan belajar sungguh-sungguh, sampai menjatuhkan kompetitornya dengan kata-kata yang menjatuhkan mental. Banyak yang selalu bilang kalau mereka banyak yang merasa tidak di hargai di pekerjaannya, atau merasa tidak di hargai dengan client-nya. Dengan tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk menulusuri lebih dalam mengenai "harga", apa yang membuat kamu di hargai murah atau mahal, dan faktor apa saja yang mempengaruhi harga.

Saya punya teman seorang fotografer, pada saat itu beliau cerita mengenai pekerjaan freelance-nya, dan tiba-tiba saya tanya sama beliau, kenapa ngga foto-fotonya di kirim ke majalah saja, karena menurut saya foto dia cukup bagus dan layak di masukan ke majalah sekelas rolling stone atau lifestyle magazine lainnya. Lalu teman saya mengatakan bahwa majalah-majalah besar di Indonesia tidak mau membayar dengan harga yang "layak" untuk fotografer, lalu beliau melanjutkan dengan berkata bahwa fotografer di Indonesia itu kurang di hargai. Terus dengan secara skeptis saya mencari tau kenapa teman saya bisa bilang seperti itu. Dengan naluri ekonomi dasar, saya lihat dari sisi jumlah fotografer yang ada di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Pada saat itu, fenomena fotografi memang sedang menjadi sensasi untuk anak muda Jakarta, dan hampir setiap mahasiswa dan pelajar SMA memiliki kamera DSLR, padahal harga kameranya bisa di bilang cukup mahal, 1 kamera harganya bisa mencapai 15juta rupiah. Setelah melihat dari sisi jumlah fotografer, saya kemudian mecari tahu kenapa fenomena ini sangat happening di kalangan anak muda. Kebetulan, saya ingin tau bagaimana rasanya mengambil foto dengan kamera DSLR itu, dan setelah saya mencoba jeprat jepret sedikit, ternyata memang sangat mudah untuk bisa mendapatkan foto yang bagus (mungkin tidak sebagus teman saya) dan sama sekali tidak memerlukan usaha yang banyak. Setelah mengetahui cara memakai dan hasil foto dari kamera DSLR, tidak heran jika semua orang ingin menjadi fotografer - karena hasil yang cukup maksimal, dengan usaha yang amat sedikit.

Hukum ekonomi dasar yang di cetuskan oleh Adam Smith, mengenai invisible hand - atau tangan yang tak terlihat - dimana harga di tentukan dengan persediaan (supply) dan permintaan (demand) yang ada di pasar. Pada dasarnya, jika terlalu banyak persediaan tetapi tidak banyak permintaan, maka harga akan turun, dan sebaliknya jika persediaan tidak terlalu banyak tetapi banyak permintaan, maka harga akan naik. Harga akan di tentukan oleh pembeli yang sanggup membeli dengan harga paling mahal, dan penjual yang dapat mejual dengan harga paling murah. Ini penjelasan paling dasar dari hukum ekonomi.

Sekarang jika kita kaitkan dengan fenomena fotografi di atas, dengan mudahnya mengambil gambar dari kamera DSLR, membuat banyak orang ingin menjadi bagian dari fenomena ini. Hasilnya, pemilik majalah memiliki banyak pilihan fotografer dan pihak majalah akan memilih foto yang paling bagus dan tentunya yang paling murah. Jadi, sebenarnya bukannya di Indonesia fotografer tidak di hargai, tapi saking banyaknya fotografer di Indonesia, banyak yang rela di bayar berapa pun, yang penting hasil karyanya bisa masuk majalah. Mungkin untuk beberapa fotografer, bisa masuk majalah lebih penting di banding bayarannya. Mereka rela di bayar sekecil apapun yang penting nama mereka bisa tercantum di majalah itu dan di lihat oleh majalah-majalah lain. Ini jelas sangat beresiko, karena jika tidak ada yang melihat namanya, jadinya yaa.....dia sama saja seperti fotografer lainnya, dan karyanya mungkin sangat biasa di mata publik, sehingga kurang berkesan.

Di samping fotografer, ada teman saya juga bercerita bahwa dia belum punya pengalaman kerja apapun, tetapi sudah memiliki gelar S2 dari luar negri. Terus dia lanjut bercerita bahwa dia sudah menolak beberapa tawaran kerja dari perusahaan karena menurut dia gajinya terlalu kecil, dan benefit yang di tawarkan oleh perusahaannya pun tidak terlalu memuaskan menurut dia. Ini yang saya maksud dengan menilai dirinya di atas rata-rata, karena dia sudah lulus S2 dari luar negri, maka dia berhak untuk menawar dengan harga di atas rata-rata, padahal kerja dan kuliah adalah dua hal yang sangat amat berbeda. Jika kita berada di posisi si perusahaan ini, akan lebih menguntungkan jika kita cari yang kualitasnya sama atau sudah ada pengalaman kerja tapi mau di bayar murah - selama supply atau pelamar untuk pekerjaannya banyak. Kenapa ini akan menguntungkan sang perusahaan? Karena kita bisa mendapatkan pekerja yang lebih murah, jika belum ada pengalaman kerja, pelatihan tidak akan memakan waktu terlalu lama, lebih baik lagi jika sudah ada pengalaman kerja, dimana kita bisa melatih si pekerja dengan cepat, dan si pekerja bisa cepat berorganisasi di pekerjaan barunya. Jadi pada intinya, selama ada calon pekerja yang berkualifikasi dan bisa menerima gaji berapa pun, harga pasar untuk pekerjaan itu akan sangat kompetitif sekali.

Saya akan menjelaskan satu profesi lagi, yang sebagian besar orang merasa sebagai profesi yang kurang di hargai - graphic designer. Ini tidak beda jauh dengan profesi fotografi, dimana untuk bisa mendapatkan hasil yang cukup bagus, tidak memerlukan usaha yang terlalu banyak, tetapi yang memperburuk profesi ini adalah software bajakan yang harganya jauh sangat murah di banding yang original. Dengan adanya software bajakan, orang yang sama sekali tidak mempelajari graphic design atau yang tidak berprofesi sebagai graphic designer/illustrator dapat membelinya dengan sangat murah dan mempelajarinya sendiri melalui buku atau trial and error. Dengan adanya akses software bajakan yang sangat murah dan mudah di dapat, profesi ini terancam menjadi profesi yang underpaid atau yang gajinya di bawah rata-rata. Jika software nya susah untuk di dapat, atau tidak ada yang bajakan, profesi ini bisa di bilang profesi yang cukup elit karena untuk memulainya mahasiswa harus mengeluarkan uang minimal 15juta untuk membeli software nya sendiri (yang asli), dimana yang bajakan cukup dengan uang Rp. 50,000.00 saja.

Tulisan ini tentu hanya melihat dari sisi ekonomi saja, pastinya banyak unsur lain yang dapat membedakan harga, apalagi di bidang seni rupa dan fotografi. Pada dasarnya, tulisan pendek ini mengajak anda untuk berfikir secara kritis mengenai harga, ajaran dasar mengenai harga dan unsur dasar apa saja yang membentuk suatu harga. Lain kali anda merasa tidak di hargai di tempat kerja anda, coba anda bercermin dan bertanya "kenapa di bayarnya cuma segini?" dan berfikir secara mendalam mengenai hal itu. Karena kadang bukannya tidak di hargai, tetapi memang pasar mengatakan seperti itu. Selama ada yang lebih murah dengan kualitas yang sama dan tidak banyak permintaan, maka harganya akan bersaing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline