Lihat ke Halaman Asli

Adriel Raihan

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pentingnya Adab dalam Menggabungkan Dakwah dan Retorika

Diperbarui: 30 Juni 2024   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

adriel raihan/dokpri

Oleh: Syamsul Yakin dan Adriel Raihan

Sebagai sebuah ilmu, dakwah dan retorika harus bebas dari nilai-nilai tertentu. Artinya, ilmu dakwah dan retorika harus dikembangkan berdasarkan ilmu pengetahuan saja, tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, seperti adab.

Namun, dalam prakteknya, ilmu dakwah dan retorika tetap harus mempertimbangkan adab. Meskipun kedua ilmu ini seharusnya bebas nilai, mereka tetap perlu mempertimbangkan kebenaran dan implikasi yang terjadi. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan retorika terikat oleh adab yang bersumber dari ajaran agama dan budaya.

Jadi, adab dan ilmu dalam retorika dakwah harus digabungkan. Dalam konteks ini, adagium "ilmu bukan untuk ilmu" berlaku, melainkan ilmu untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu untuk kemanusiaan. Dalam konteks inilah pentingnya keberadaan adab.

Secara praktis, retorika dakwah bukan hanya tentang berdakwah secara efektif dan efisien, menarik dan atraktif, tetapi juga tentang aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang luhur. Apalagi pada awalnya dakwah itu subjektif, dogmatis, dan penuh nilai. Retorika juga awalnya merupakan budaya dan berangkat dari satu sistem nilai.

Ketika retorika lahir dari budaya, berkembang menjadi seni bertutur, tumbuh menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, pada puncaknya retorika perlu diikat oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus dipadu dengan adab.

Begitu juga dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, kemudian menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, lalu akhirnya menjadi ilmu dakwah yang mapan, tentu juga harus didampingi oleh adab. Dalam berdakwah, terdapat kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai.

Memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah meniscayakan dua hal. Pertama, menghilangkan komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan. Selama ini, komodifikasi dakwah berlindung di bawah payung profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras membisniskan dakwah. Namun, dai dan mitra dakwah boleh mendakwahkan bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan menggantungkan hidup dari berdakwah.

Kedua, memadukan ilmu dan adab dalam retorika dakwah akan menjadikan dai profesional dalam pengertian yang sebenarnya. Makna profesional itu bukan berarti terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, tetapi memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline