Lihat ke Halaman Asli

Wajah Anak Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Adriansa Manu, Anggota Study Club Lover Of Wisdom (L.O.W)
Tulisan ini saya persembahkan buat kawan-kawanku yang tidak mendapatkan pendidikan atau yang tidak mampu menjenjang pendidikan tinggi, dikarenakan pendidikan semakin tidak terjangkau, akibat biayah yang semakin mahal.
Setiap putaran Tahun, berbagai macam suku bangsa anak negeri dari pelosok desa berbondong-bondong datang berkumpul, beramai mencari takdir di kota-kota. Disana mereka mencari sebuah jawaban masa depan untuk kehidupan mereka. Yang menjanjikan sebuah peng-abstraksian kesejahtraan. Walapun itu tak pasti di dapatkan, sehingga orang tua mereka akan bersusah payah mencari biayah agar bisa berangkat, berlomba dengan ribuan anak bangsa lainnya di kota demi mendapatkan pendidikan.
Suatu keharusan, begitupulah amanat bangsa seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Pendididika Tinggi (UU PT) yang baru saja diresmikan pada jumat 13 Juli 2012 oleh DPR RI, yang katanya akan mencerdaskan kehidupan bangsa, begitupulah isi UU PT yang memberikan kesempatan 20 persen, anak bangsa kurang mampu secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan. Sangat sedikit persennya dari jumlah rakyat miskin di indonesia, tetapi penting melihat pembuktian di lapangan.Mungkin pemerintah telah menghianati amanat konstitusi bangsa ini, atau mungkin lupa? Tulisan ini akan saya batasi untuk tidak menyinggung kesejahteraan yang di maksutkan dalam amanat UUD 1945 karena memang tidak ada dalam kehidupan rakyat. Tetapi saya berusaha mengamati fakta-fakta riil yang saya temukan, dalam pengamatan saya terhadap praktek pendidikan di negeri ini yang sama sekali, tidak memberikan jaminan terhadap rakyat kurang mampu. Saya berani katakan, melihat banyaknya anak bangsa di negeri ini yang masih mengalami penderitaan buta huruf dan buta aksara, tentu saja ini bukanlah sebuah cita-cita mereka. Di sudut-sudut kota, jumlah anak terlantar di Indonesia pada tahun 2011 masih mencapai 4,8 juta. (suarapembaruan.com).
Jika melihat isi pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan,“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Saya mengajak pembaca tulisan ini untuk menggaris bawahi kata “PELIHARA”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa pelihara sama dengan jaga dan rawat. Di KBBI, terdapat pula beberapa contoh pemaknaan kata dipelihara, seperti kata “mas”, yakni ikan air tawar, dipelihara di tambak.
Secara filosofis kata di atas sangat penting di kaji secara dalam-dalam, ini merupakan kata dalam tanda petik! Apakah kata dipelihara dalam pasal tersebut dapat disejajarkan dengan bisnis atau hobi sebagaimana disebutkan diatas? Tentu dalam hal ini, yang menjadi peliharaan adalah fakir miskin dan anak-anak terlantar. Konsekuensinya jelas, ini sekaligus meletakkan fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagai objek, sedangkan subjeknya negara.
Agar lebih jelas, mari kita mengandaikan seperti ini: Negara sebagai pemelihara, fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagai sesuatu yang dipelihara. Jika ini bisa diterima, berarti negara harus menjaga atau merawat fakir miskin dan anak-anak terlantar. Mengesankan, bahwa tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar amat sederhana. Terbatas pada sesuatu yang dipelihara, akan menjaga dan merawat. Padahal, kenyataannya fakir miskin dan anak-anak terlantar kian tak terhitung, baik di sudut-sudut kota, maupun di pelosok desa.
Seakan fakir miskin dan anak-anak terlantar seolah harus ada, sehingga menjadi peran negara memelihara dan tidak mengkhianati pasal 34 UUD 1945. Secara rasional, tidaklah menjadi kewajiban bagi negara untuk mengubah atau bahkan menghilangkan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Penghilangan tentu dalam arti tidak adanya pelabelan. Cap fakir miskin dapat dihilangkan dengan upaya kesetaraan ekonomi sedangkan cap anak-anak terlantar dapat dihapus melalui keterbukaan akses pendidikan.
Jika tidak ada fakir miskin dan anak-anak terlantar, maka menjadi sah bagi negara untuk menciptakan mereka. Tentu ini dilakukan agar negara bertindak sesuai dengan amanat pasal 34 tersebut.
Keberadan kawan-kawan fakir miskin dan anak bangsa terlantar mungkin dalam pengertian diatas, merupakan produk yang sengaja diciptakan demi adanya kata “pelihara”. Sehingga wajar jika kita sering menjumpai anak jalanan di perempatan, begitu pulah buruh dengan upah rendah, atau bilik-bilik kumuh di balik meganya kota. Sehingga saya mengandaikan, tempat-tempat tersebut adalah sebuah wadah khusus milik negara agar mereka tetap terpelihara.
Sebagai anak bangsa yang so peduli ini, saya sangat mengharapkan peran pemerintah dalam menjawab kompleksnya persoalan anak bangsa di negeri ini, karena kami pun tahu alasan-alasan pemerintah setiap kali berpidato atau berbicara di media-media sangat tidak obyektif, bahwa persoalan pendidikan dan kemiskinan mesti juga dilihat dari penghasilan kas negara, tentu saja hal ini merupakan pendekatan logika formal, jika di pahami secara dangkal, kelihatannya memang rasional.
Jika persoalan diatas di amati secara dialektis, akan menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Contoh kongkrit : Kok negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, saking melimpahnya, negara kita membebaskan negara luar untuk mengelolahnya. Dalam tanda petik, rakyak-Nya  kok lebih banyak yang miskin? Banyak pulah bungsung laparnya. Menjadi aneh bukan! Rakyat-nya telah miskin di pajak pulah dengan tagihan yang tidak seimbang, dengan penghasilannya setiap bulan atau dalam hitungan dua belas bulan. Jika diamati baik-baik, maka rakyat setiap kali bekerja dengan hasil yang sedikit, justru tidak mendapatkan hasil kerjanya. Mencul lagi pertanyaan, mengapa demikian? Ya negara mengandalkan hasil pajak itu, katanya untuk pembangunan macam-macam dan sumbangan untuk pendidikan dll. Bukanya negara yang mestinya bertanggungjawab atas persoalan rakyat? Ibarat anak yang menjadi tanggungjawab ayah dan ibu selama ia tidak berdaya sampai ia menemukan arah hidupnya setalah dewasa.
Mestinya, tetapi logika itu telah terbalik menjadi rakyat bertanggungjawab penuh terhadap negara, rakyat harus berkeringat darah demi terciptanya roda perekonomian bangsa. Namun pun demikian, hasil kerja rakyat di potong-potong pulah oleh para komperador negara untuk kepentingan perutnya. Lalu untuk apa kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa itu? Mungkin cukup menjadi khiasan demi menarik pemodal asing yang hasilnya pun tidak kita rasakan. Ya mungkin ada tetapi cukup diketahui para pengurus bangsa saja, tidak perlu rakyat ketahui. Anggap saja itu sumbangan para pemodal buat negara kita, walaupun kita ketahui bersama bahwa sebenarnya itu adalah milik semua rakyat indonesia, bedahnya mereka yang mengelolah.
Tuilisan ini memang sengaja pedas, menjadi kritikan mengharapkan keadilan bangsa yang di perjuangkan oleh berbagai macam suku yang tidak mengenal kaum atau perbedaan sosial, untuk satu tujuan bersama demi merebut kemerdekaan bangsa. Sehingga kami hadir, sebagai anak bangsa yang juga nenek moyang kami ikut merebut kekuasaan kolonial yang datang menjajah nusantara, meneruskan perjuangan merebut keadilan, yang sampai saat ini belum perna dirasakan seluruh rakyat indonesia. Sehingga kemerdekaan menurut kami, belum sama sekali ada, kemerdekaan yang dimaksut, hanya sebatas kemerdekaan peralihan kekuasaan kepada sang komisaris bangsa yang juga digerakan koloni bangsa lain, untuk kembali menjajah rakyat dengan praktek yang sedikit berbedah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline