Lihat ke Halaman Asli

Dilema Pembisuan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Oleh : Adriansa Manu

Mahasiswa Universitas Tadulako, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Sosiologi)

Aku merasa legah seakan tak ada lagi beban, menganggap semuanya telah selesai. Aku telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Ya.. Telah bebas dan ingin bersama keluargaku. Menikmati suasana alam kampungku. Menatap embun-embun pagi yang mencoba menaiki bukit, pinggiran kampung yang di padati pohon-pohon rindang hingga naik kelangit membetuk gumpalan-gumpalan putih.

Saat pagi, akan nampak orang-orang keluar dari rumah masing-masing, kebiasaan mereka saling menunggu dan akan berjalan berkelompok sejajar ada juga yang tak rapi sambil memikul cangkul, mereka adalah petani di kampungku yang hendak ke sawah dan ladang-ladang. Juga akan terdengar kicauan burung di sepajang jalan, seakan memberikan semangat  para petani, kehangatan pancaran sinar matahari  juga terasa segar di kulit. Ini yang membuatku tak bisa jauh dari kampungku.

Rasanya pagi ini ada sesuatu yang bedah dari biasanya, denyut jantung melaju cepat, hingga nafasku tak karuan rasanya sesak seperti ada yang mengganjal. Mungkin karena aku terlalu berlebihan, berbangga pada sesuatu yang konyol. Ya karena tak lagi sibuk, pagi-pagi mempersiapkan alat tulis, buku dan pakaian lalu berjalan sekitar 100 meter ke sekolahku.

Aku tak ingin lagi keluar dari kampungku, apa lagi jika memakan waktu yang cukup lama. Juga tak suka tinggal di daerah orang, aku  hanya ingin tinggal di kampungku.  Membantu orang tuaku berkebun, lalu membikin duniaku sendiri tanpa paksaan.

Ini keputusanku…!

Suatu saat ketika aku usai bermain-main bersama teman-temanku. Aku kembali kerumah, waktu itu hari sudah hampir gelap, kudapat keluargaku sedang berkumpul,  terlihat gelas-gelas yang terbuat dari plastik berisikan minuman khas orang-orang di kampungku tepat di depan mereka. Orang-orang kampungku biasanya sebut Minuman Saguer, asalnya dari pohon Enau. Entah bagaimana cara produksinya, aku juga tidak tahu. Mereka sering kali berkumpul bergurau dan membicarakan  pekerjaan ladang.

Aku masuk dan tak lupah memberi salam.

Selama Malam..?

Malam.. Jawab mereka.

Kebetulan kau sudah datang, duduklah. Kata Ayahku.

Ada apa ya..?

Ayaku.. Sudalah kau duduk saja.

Minggu depan kau sudah harus bersiap-siap, kami sudah bicarakan semuanya tidak perlu kau pikirkan lagi masalah angkos dan lain-lain. Kau akan diantar pamanmu besok ke palu, dan soal tempat tinggalmu nanti pamanmu yang atur kau tenang saja.

Waa aku tidak ingin kulia, aku sudah putuskan matang-matang untuk tidak lanjud lagi ke perguruan tinggi. “Bantaku”.

Ayahku… Pokoknya tidak ada alasan Ayah sudah atur semua dengan pamanmu masalah kuliamu.

Tapi ayah..!

Tidak ada tapi-tapi. Kau harus melanjutkan sekolahmu, Ayah tak ingin kau seperti kakakmu itu. Kau satu-satunya harapan kami, kau harus bisa selesai hingga ke perguruan tinggi, karena kampung kita ini sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk anak-anak dan kampung kita  belum memiliki sarjana rata-rata masih tamatan SMA dan hanya beberapa orang saja yang sekarang lagi duduk di bangku perkuliahan.

Hmmmm….

Cerita ayah membuatku terkesan dan kembali berfikir matang-matang. Hingga aku memutuskan untuk pergi, walaupun sedih…

Ya aku harus lanjut ke perguruan tinggi. Mungkin saja aku orang pilihan yang dapat merubah nasip keluargaku dan kampungku. Kataku dalam hati.

Sebelum pergi, Ayah dan ibu membekaliku dengan sederet kata motivasi yang membuatku terdorong untuk kulia. Dalam ingatanku salah satu kata yang bisa dipetik dalam pesan Ayah “Di hari nanti kelak kau bisa merubah nasib keluarga kita, ketahuilah bapak sebetulnya tidak mampu membiayaimu sejauh ini, namun bapak ingin sekali kau bisa merubah nasib keluarga kita ini” waktu itu aku hanya menunduk mendengarkan perkataan Ayah, wajahnya kusut, bola matanya tak bergerak terus menatapku, begitu juga Ibu hanya memperlihatkan wajahnya yang begitu peduli dengan diriku waktu itu ibu hanya diam namum nampak kegelisahannya dari wajahnya yang begitu tak ceria.

Ayah dan Ibuhku, menginginkan agar aku dapat menjadi PNS untuk jadi Guru di kampungku. Ya di sana kekurangan guru, kualitas gurunya juga masih sangat terbelakang.

Dalam hatiku, aku lebih memilih jadi staf ahli camat di daerahku, biar sedikit kelihatan tampanku..hehe

Saat aku mendaftar di Universitas Tadulako lewat gelombang kedua, karena terlambat mengikuti ujian nasional, aku diberikan pilihan sesuai dengan minat dan bakatku, aku memilih tiga pilihan, karena aku ingin jadi PNS kupilih Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), sebagai pilihan utamaku, kemudian aku memilih Ilmu Pemerintahan, setidaknya jadi staf ahli Camat di Daerahku. Pilihan terakhir aku memilih sosiologi sebagai cadangan dari dua pilihan utamaku. Untuk berjaga-jaga….!

Satu minggu berselang setelah selesai mengikuti tes, berharap lolos di pilihan pertama namun aku justru lolos di pilihan cadangan yang paling terakhir. Sampai-sampai aku hampir tak menerimanya.

Tapi harus bagaimana lagi.. mungkin ini nasip yang harus aku terimah.

Lagian sudah tak ada lagi waktu untuk mendaftar. Tapi, aku harus jelaskan apa kalau Ayah dan ibu mempertanyakan.

Sudalah, dari pada tak diterima sama sekali, mendingan aku jalani saja, nanti aku jelaskan berikutnya.

Jam sebilan pagi aku sudah berangkat dari tempat tinggalku di palu selatan mencoba bersahabat dengan matahari yang baru saja memanaskan bumi, sangat terasa hingga kulitku tak sanggup lama menerima pancaran sinarnya yang panas. Dan tak ingin lama ditemaninya. Hawa di Palu memang panas, ditambah dengan panasnya matahari terasa menyengat hingga di ubun-ubun tulangku.

Setelahnya sampai di kampus, aku merasa sangat asing mungkin karena aku masih baru, jika tak linca maka akan menjadi orang yang paling terakhir bahkan menunggu lagi hari berikutnya, para pendaftar kelihatannya seperti semut yang sedang berjejer keluar dari lobang persebunyian memperebutkan bangkai.

Dua hari aku bolak-balik hanya untuk menunggu antrian itu sangat membosankan karena tak ada yang bisa diajak bicara, mungkin karena aku tak berani, menyaksikan orang berebut kursi antrian berjumlah puluhan itu dikelilingi ribuan orang yang menunggu kekosongannya yang tak perna lekang dari pejagaan ketat Satpam kampus, hingga kemudian tepat pukul tiga aku berhasil lolos dari antrian itu setelah menyelesaikan administrasi yang rumit dan membosankan.

Aku memang tidak ingin berlama-lama di kampus dan harus pulang beristirahat hingga menunggu masuk kulia selama satu minggu.

Ya, selain mengisi Kartu Rencana Study (KRS) juga mempersiapkan mental sebagai seorang mahasiswa, kata guruku saat aku masih duduk di bangku kelas XII SMA mahasiswa itu harus mandiri belajar dan mulai mendewasakan diri berfikir tidak lagi seperti di SMA selalu di cari-cari guru dan di bucuk guru belajar.

Sebenarnya sech.. aku tak begitu merespon, karena kata teman-temanku yang telah merasakan kulia katanya enak tidak seperti di sekolah kalau bolos atau tidak mengikuti proses belajar akan dihukum guru.

Sudalah ikuti saja perkembangannya, nanti juga tahu kebenarannya.

Sekarang aku sudah menjadi anak kulia, dengan situasi yang baru aku harus pintar mencari teman, tapi bagai mana caranya? Ya harus memberanikan diri bergaul, kadang-kadang aku semacam orang gila menjawab pertanyaan sendiri, yang sebetulnya tak layak untuk dipertanyakan lagi.

Aku bangun pada jam setengah tuju pagi dengan kepala pusing, ada sesuatu yang mendenyut-denyut tak tampak namun menggelisakan.

“Rupanya hari ini adalah hari petamaku masuk kulia”.

Dipercampurkan kejenuhan dan sedikit senang, saat di kampus ternyata kita cuman banyak diceramai, mulai dari cerita masa lampau, hingga persoalan-persoalan politik yang kacau-balau membuatku bosan tak tertarik sedikitpun. Aku tak terbiasa aku hanya ingin senang, punya teman dan bermain-main seperti massa SMA dulu.

Aku belum punya teman, apalagi seorang sahabat yang dapat aku ajak bicara, setidaknya aku dapat menceritakan semua yang aku rasakan. Demi meringankan bebanku selama ini mestinya memang harus ada kalau tidak aku bisa frustasi dengan semua ini.

Belum lagi di kampus aku selalu dipenuhi dengan banyaknya tugas-tugas kulia dari para dosen, katanya jika tidak dikerjakan itu akan berdampak pada nilai, disamping birokrasi kampus yang selalu mengekang, mahalnya uang semester apalagi aku seorang anak petani yang sebulannya hanya dikirimi uang seratus ribuh kadang juga naik tiga ratus ribuh per bulannya di kota itu tidak cukup jika dipakai dalam sebulan, di samping membayar kos juga makanan hari-hari, utunglah ada produksi indomi alias super mii, makanan pokok anak kos..hehehe

Biasanya bila kufikirkan, kadang membuatku pusing karena tak bisa berbuat apa-apa kecuali menjalaninya saja sambil mengingat ceramah-ceramah para agamais sabar dan tabah, pasrah, mengadu nasip pada sang Esa.

Hmmm, selalu membuatku gelisa hingga kepalaku berdenyut-denyut. Biasanya kualihkan dengan membaringkan diri biar tak berlarut-larut kufikirkan.

Aku juga kadang ingin menjadi pahlawan untuk diriku sendiri dan juga keluargaku, sebagai seorang yang sudah dikategorikan dewasa karena telah berusia 19 tahun, namun dalam kenyataannya justru berbalik menjadi rumit, karena ternyata menjadi seorang pahlawanan tidaklah semudah yang aku bayangkan. Ruang dan waktu menampakan problem yang selalu penuh dengan dilema pembisuan dimana banyaknya ketidak adilan kutemukan.

Pasra…pasra…dengan keadaan… Mungkinka itu jalan yang akan menjawab semua problem yang aku temui..?

Suatu saat ketika aku melintas di jalan Ir. Kartini, aku melihat seorang perempuan berpakaian kotor bersama anak-anaknya berbaring di bawah pohon persimpangan jalan bersama dua anaknya.

Sampai-sampai aku bertannya sendiri tanpa ada orang lain. Mungkinkah mereka tak memiliki tempat dimana mereka bisa tinggal? Ya mungkin..! karena setiap kali aku lewat di jalan itu, wajahnya selalu tampak bersama anak-anaknya, aku sadar dalam subyektifku, namun juga tidak begitu sadar atas problem yang temukan, aku tidak tau kebenarannya, pasrah dan menyesalkan hidup. Mengapa aku terlahir sebagai seorang yang tidak mempunyai harta banyak, hingga aku dapat makan apa saja yang aku mau, membeli segalahnya demi memuaskan keinginanku, akan kubikin duniaku seindah mungkin.

Tapi adakah orang itu menginginkan kehidupan yang layak terbebas dari cengkraman kemiskinan, mereka begitu kotor, anak-anaknya mempermainkan sampah, menggigit sampah-sampah itu tanpa ada sedikit rasa jijik, terfikir lagi olehku mungkin itu adalah kebiasaan mereka, telah hidup dalam serakan sampah-sampa yang mungkin bagi orang-orang kaya ini sangat tidak layak dilakukan. Adakah yang peduli dengan hidup mereka..? aku bahkan tak tau dengan pertanyaan nalarku sendiri.

Ya mungkin nasip mereka! Tanpa sadar dengan keadaanku yang begitu sombong tanpa berfikir jauh bahwa aku juga hanya mengandalkan pemberian orang tuaku, disana mereka bersusa paya mencari uang kulia dan belanja makanku. Agar aku bisa kulia dan bisa bertahan hidup di kota, aku juga bahkan hanya sesekali pulang kekampung halamanku, sedikit terlibat membantu orang tuaku yang selalu dengan keringat dingin bilah aku menyampaikan tuntutan belanja makan dan uang kuliaku. Aku masih sangat bersyukur ada kehidupan yang tanpa kerja aku dapatkan walaupun sedikit, tapi bagaimana dengan ibu dan kedua anaknya itu, aku penasaran ingin mengetahui kehidupan mereka yang begitu tak peduli dengan keadaan mereka. Ah mungkin bukan begitu. “Bantahku lagi dalam percakapan otakku sendiri”.

Aku semakin ingin mencari kebenaran itu, namun bagaimana caranya?

Terlintas dalam fikirku, mengapa ada yang kaya juga ada yang miskin? Ada-ada saja nalarku ini, tiba-tiba mempertanyakan hal yang aku tidak mengerti sama sekali, bukan urusanku memikirkan hal-hal semacam itu bukankah telah diatur! Hey.. Mengapa kau selalu memaksaku untuk mengerti dengan hal-hal yang tidak mampu kumengerti, bukankah semua kehidupan di dunia ini adalah kehendak yang telah ditentukan oleh Tuhan? Sudalah tak penting untuk dibahas, lagian aku bisa bertahan hidup juga sudah bersyukur (Hmmmmm). Memang itulah hidup ada yang miskin juga ada yang kaya, mending sekarang aku kulia baik-baik belajar supaya aku cepat selesai dan mendapatkan gelar S1. Pasti orang tuaku senang jika aku telah selesai dan menambahkan sedikit kata dibelakang namaku sebagai simbol bahwa aku telah mendapatkan gelar profesiku, pasti aman republik….hahahahaha

Buat apa saya memikirkan hal-hal yang belum tentu berguna untuk diriku, kalau aku telah memiliki Ijaza kan sudah gampang cari kerja, punya penghasilan sendiri, bantu-bantu orang tua. Ya mungkin tinggal cari istri yang baik saja lalu membahagiakannya dan membikin rumah tangga yang harmoni tanpa ada problem. ideal sekali hidupku….!

Saat aku mendapatkan tugas kulia dari salah satu dosenku, ia menyuruh kami meng-akses internet yang aku tidak mengerti sama sekali, maklum lah aku berasal dari kampung yang terpencil sekolahnya saja tak memadai dan tak perna aku kenal sebutan akses internet itu. Untung ada temanku yang katanya sudah sering-sering buka internet, lalu aku memintahnya untuk mengajariku,

“dia temanku sebangku di kampus”.

Ia mengajariku sampai aku mulai mengerti cara membuka internet dan tahu menuliskan kata pada sala satu website milik orang eropa, hingga sering menghabiskan waktu dan uang belanjaku di tempat-tempat internet sebutanya sich warnet, aku hanya tau namanya saja juga tau bahwa itu adalah tempat berinternet…hehehe

Saking penasaranku semua pertanyaan yang sering kali membuat aku tak habis fikir mulai kupertanyakan, yang tak perna lekang di ingatanku, mengapa ada yang kaya juga ada yang miskin, selama ini aku sudah tak lagi ingin berfikir hal-hal yang tak kumengerti.

“Kebetulan kan aku di depan mesin pintar ini jadi tak salah kalau aku pertanyakan, lagian dari pada membengkak di otakku. Ya mungkin saja mesin ini memberikan jawaban yang dapat memuaskan”.

Aku temukan tulisan yang menjelaskan bahwa ada ketimpangan sosial, selain itu juga adanya sistem kapitaliseme yang meng-eksploitasi rakyat, sekedar baca saja sich..! lagian ada bahasa-bahasa aneh yang tak kupahami, sudalah pulang saja duluh.

Tak habis pikir, maksud tulisan itu apa yang terjadi sebetulnya? Benarkah ada ketimbangan dalam masyarakat yang disebabkan sistem kapitalisme yang meng-eksploitasi. Makanya ada yang miskin juga ada yang kaya. Menyebabkan saudaraku yang paling tua tak bisa lanjut, gara-gara orang tuaku duluh tak dapat uang untuk mendaftarkanya sekolah. Begaimana impiannya terlalu tinggi, ingin sekolah di kota, di sekolah yang mahal pula. Katanya skala Internasional tentu saja mahal. Sekarang ia tinggal membantu ayahku di kampung, berkebun namun kadang juga ia malas memilih bersantai dirumah.

Dia memang sedikit malas, aku juga mengerti dengan keadaanya. Bagaimana dengan aku yang selalu menghabiskan hasil keringat mereka di kota? Tak membantu namun menerima hasinya.

Baiknya aku membeli aceran rokok harga seribu lumayan dapat dua batang, cukup membuatku tenang dan aman sesaat sembari menikmati segelas kopi torabika yang juga harganya seribu. Jadi serba seribu macam nama salah satu tokoh kecil di pasar masomba.

Keesokan harinya, aku kembali melanjutkan aktifitasku dikampus. Seperti biasannya saat selesai mata kulia pertama, aku memilih berjalan-jalan sambil menunggu mata kulia selanjutnya. Tanpa sengaja aku mendengarkan kata kapitalisme di sebut-sebut beberapa orang yang nongkrong minum kopi di bawa pohon, dekat warung makan fakultasku, biasanya disebut kantin fisip, tempat dimana mahasiswa dan dosen sering makan dan minum kopi, disertai penasaranku karena mendengarkan bahasa itu aku mencoba mendekat kira-kira dua meter dari tempat orang-orang itu aku pura-pura merokok sambil mendengarkan perbincangan mereka.

Tiba-tiba salah satu dari mereka memanggilku, kawan mari bergabung di sini ada kopi ayo kita sama-sama minum kopi, biasanya kami minum kopi segelas. Semoga saja kawan terbiasa dengan kami.

Ia, terima kasih, aku lalu mengambil gelas yang berisikan campuran gula dan kopi mungkin juga ditaburi sedikit susu, ambil bagian dalam diskusi mereka, sambil mengambil tiga batang rokok dari kantongku dan kuparkirkan di depan kami, sebagai tanda terima kasih karena telah diajak bergabung, apalagi mereka baik-baik dan telah memberikanku kopi bergilir itu walaupun rasanya sedikit pahit. Aku tak terbiasa dengan kopi pahit karena sering minum kopi saset yang di produksi mesin canggi dan telah di proses dengan resep sempurna.

Mereka banyak bicara soal kekacaun negeri ini, mereka bilang negeri yang menghamba pada negara luar. Aku tak begitu banyak mengerti perkataan mereka, apa masalah mereka dengan negara lain? Mereka juga bilang kalau kapitalisme lah yang menyebabkan kemiskinan bangsa tercinta yang penuh dengan perjungan ini, menurut sejarah bangsa indonesia diperjuangkan dengan berdarah-darah, sehingga terbebas dari penjajah-penjajah koloni.

Aku banyak mendengarkan perbincangan mereka, hingga aku di ajak untuk ikut berjuang melawan para penjajah yang membikin kemiskinan banyak orang. Aku hanya memberikan senyuman dan mengatakan ia, tapi aku tak begitu memahami masalah mereka, mereka juga tak senang dengan para pemimpin-pemimpin negeri ini dan tak suka mendengarkan kata AS. Mereka sangat menentang itu, bagi mereka itu adalah musuh utama yang menyebabkan banyak orang miskin dan sengsara.

Ya aku sadar, ternyata memang kemiskinan bukanlah sesuatu yang turun dari langit menyulap orang-orang menjadi sebua cerita sinetron. “ada yang miskin dan ada yang kaya” adalah fariasi kehidupan umat manusia yang ada di bumi. Sunggu kejam dunia ini membikin orang-orang terbagi menjadi dua bagian, keadilan dianggap sebua hiasan perlakuan manusia, begitu juga kejahatan, keserakaan dan kesenangan.

Semua dibikin menjadi sebua fantasi manusia hidup di dunia, namun di miliki sebagian orang-orang yang pintar memutar-mutar ludah mereka demi kepentingan dirinya sendiri, pandai bicara namun bodoh dalam tindakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline