Melewati malam tahun baru di Jakarta memang gegap gempita. Semua orang berpesta melupakan sejenak kepenatan yang sudah dijalani setahun kebelakang. Jakarta yang menjadi magnet. Jakarta yang menjadi surga. Jakarta yang menjadi ibukota sang Ibu Pertiwi.
Sejenak aku pun memandangi, tidak menyoba merenungi, tentang makna ratusan ribu orang berkumpul di sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin. Mencoba meraih pusat segala rupa perayaan tahun baru 2014, bundaran Hotel Indonesia. Bundaran HI yang sudah menjadi 'landmark' kota Jakarta, menjadi daya tarik utama para penikmat pesta akhir tahun. Sebuah panggung besar sudah disiapkan disana. Sang Gubernur Jokowi pun tak mau kalah, dengan suara 'medok' khas-nya ia melafalkan lagu 'darah muda'' bersama dengan sang raja dangdut Rhoma Irama. Sebuah fase damai dari sebuah ketegangan di masa lalu.
Ini lah gegap gempita ibukota. Menggeliat ia di malam pergantian tahun. Anak kecil, pemuda pemudi, orang dewasa, hingga lanjut usia, seakan lupa dengan 'sesak' dan 'sedak' ratusan ribu masa diatas aspal-aspal yang becek karena hujan. Semua orang merayakan pergantian tahun, setiap orang bergandengan, berpelukan, bercumbu, sesaat sebelum sang gubernur berteriak melalui microphone menghitung mundur detik menuju pergantian hari.
Dan seribu kembang api pun menyala saat angka ''satu" sudah terucap dengan lantang.
"Happy New Year..."
Semua orang berkata, semua orang berharap, semua orang berdoa.
2014, tidak akan mudah di lalui sang ibukota dalam menopang beban pundak nusantara. Garuda ini masih tertidur meskipun tahun telah berganti.
Rupiah yang kian 'murah', angka IHSG yang melemah hingga angka 4274 poin, pengangguran yang mencapai angka 7 juta orang, tingkat kemiskinan mencapai 11 persen, korupsi yang kian parah menerjang para birokrat, anak-anak kecil kelaparan, rumah tak layak huni, pengemis jalanan, pengamen, gelandangan, kemacetan, migrasi, dan semua hal ini. Semuanya jelas masalah.
Tahun 2014, pergantian presiden republik ini. Rezim yang akan turun kuasa. Entah akan ada kejutan apa di tahun yang katanya 'politik' ini. Tahun politik yang hanya bisa mendikte, bukan mengajarkan. Membuat segala sesuatu terasa ''baik-baik saja" padahal tidak ada yang baik. Bagaimana nasib ''skandal century" setelah rezim ini berakhir, entah lah... atau kah ini bukan rezim, tapi hanya sebuah kuasa berkedok "demokrasi"'. Demokrasi yang menunggangi bangsa ini lebih dari setengah abad. Demokrasi yang dijunjung tinggi oleh para birokrat yang korup. Dimana kah kita? kemana kita melangkah? kemana arus ini akan berujung? seperti apa nasib bangsa ini nanti?
Entah lah, semua gegap gempita malam tahun baru, seolah membuai bangsa yang 'pemaaf' ini. Bukan masalah tahun, bukan masalah bulan, bukan masalah hari, melainkan masalah yang menjadikan masalah ini semakin bermasalah. Sebuah masalah yang tak akan terselesaikan, jika pemimpin bangsa ini hanya diam dan menunggu tunggangan aman untuk melangkah.
Euforia ''98'' sudah berakhir, era reformasi makin menjadi, demokrasi yang kita junjung tinggi, nyatanya tak pernah mati, hingga suatu hari nanti, siapa yang mati? menunggu ajal menanti atau bangsa ini yang mati? yang pasti aku pun masih percaya, saat melihat anak-anak sd tetap semangat menunaikan upacara bendera setiap hari senin pagi, hormat pada sang saka merah putih; meski mereka tak bersepatu, meski sekolah mereka selayak kandang kambing, meski tetesan hujan akan masuk dari celah atap, meski guru yang ditunggu tak kunjung datang, meski buku yang dibaca sudah tak mengikuti kurikulum. Tapi satu hal yang pasti, semangat mereka akan tetap terbit di setiap pagi menyongsong hari tanpa pernah mengeluh, semangat untuk belajar dan untuk 'berbakti' pada ibu pertiwi. Perlahan mereka lah, generasi penerus bangsa ini, yang akan membangunkan sang 'Garuda' kembali menjelajah nusantara, mengepakkan sayapnya, membawa benih kedamain dan kemakmuran hingga pelosok dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.