Lihat ke Halaman Asli

Potensi Laka Lantas di JL. Raya Lenteng Agung

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halnya terjadi di ruas jalan antara simpang empat Tanjung Barat, Jakarta Selatan, persisnya di kolong fly-over dekat STIE Jagakarsa, mulai dari titik tersebut, hingga sekitar lima kilometer ke arah selatan, tepatnya di pintu perlintasan kereta api tak jauh dari Stasiun Universitas Pancasila, yang sehari-hari disebut Gardu, membentang ruas jalan di sisi barat dan timur rel kereta api, dengan nama resmi adalah Jl. Lenteng Agung Barat untuk ruas di sisi barat rel kereta, dan Jl. Tanjung Barat berlanjut Jl. Lenteng Agung Timur untuk ruas di sisi timur rel kereta.

Sejak sekitar tahun 2005, mulai dibuka ruas alternatif ke dua jalan tersebut. Di sisi barat, jalan berkonstruksi beton itu membentang mulai dari Kampus IISIP hingga Stasiun Tanjung Barat; sementara di sisi timur ruas alternatif membentang mulai dari Stasiun Lenteng Agung hingga Gardu.

Secara khusus dalam kesempatan ini saya ingin menyoroti keberadaan kedua ruas alternatif tersebut. Berkonstruksi beton, lebar, lurus, dan mulus, ruas jalan ini sungguh menggoda pengendara untuk memacu kecepatan, terutama dan tentunya pada saat situasi lalu lintas memang memungkinkan. Kondisi ini sangatlah membahayakan, terutama bagi penyeberang jalan, dan juga bagi pengendara kendaraan, khususnya beroda dua. Ketiadaan zebra cross, jembatan penyeberangan, marka jalan, rambu lalu lintas, ditambah lagi minimnya penerangan jalan, menambah lengkap penyebab potensi kecelakaan di ruas jalan ini.

Dalam kesempatan ini saya meminta perhatian Pemerintah DKI Jakarta yang sedang melakukan pemanasan dalam rangka pemilihan kepala daerah untuk membangun speed trap/marka kejut pada beberapa titik penyeberangan pejalan kaki di kedua ruas jalan itu. Akan sangat baik bila penerangan jalan pun ditambah.

Sebuah ironi melihat bagaimana masyarakat secara swadaya menempatkan relawan untuk membantu pejalan kaki menyeberang ruas jalan ini. Terlepas dari tingginya niat baik dan kesadaran partisipatif warga negara, hal ini tak pantas terjadi di negara yang dilengkapi dengan pejabat, birokrat, dan aparat yang mendapat gaji dari anggaran negara. Bila segala hal dikembalikan ke rakyat dan masyarakat untuk “partisipasi”, tentunya tak diperlukan lagi kehadiran pemerintah. Biarlah semua sektor di negeri ini mengatur dirinya sendiri bak kehidupan di negara “auto-pilot”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline