Hari-hari ini pemerintah dan masyarakat sedang mengadu kecepatan dengan penyebaran Covid-19. Protokol kesehatan seperti yang dianjurkan pemerintah soal disiplin sosial menjadi sangat penting. Jaga jarak, cuci tangan, menggunakan masker masih tetap menjadi tameng dan pertahanan terbaik dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Hingga kini belum bisa dipastikan kapan pandemi ini berakhir. Sejumlah predikdi memastikan pandemi ini akan berakhir pada bulan Mei 2021, namun SUTD (Singapore University of Technology and Design) mengklaim bahwa pandemi ini akan selesai pada bulan Juni bahkan Oktober. Presiden Joko Widodo melalui rapat kabinet yang digelar secara tertutup di Istana Merdeka beberapa waktu lalu, memerintahkan kepada jajarannya agar kurva penyebaran Covid-19 harus turun apa pun caranya.
Nampaknya Presiden sudah tidak sabar melihat fakta bagaimana mobilitas masyarakat terhenti praktis selama satu tahun terakhir. Kantor, kampus, sekolah, transportasi, pusat perbelanjaan, kegiatan ekonomi, keagamaan, olahraga, dan lain sebagainya.
Sejak dilaporkan oleh Pemprov Papua melalui Juru Bicara Satgas Covid-19 Silwanus Sumule yang diunggah di laman resmi Pemprov Papua bahwa Covid-19 telah terdeteksi di Papua lewat 4 pasien yang terkonfirmasi positif dan dirawat di RSUD Merauke dan disusul 4 kasus baru yang seluruhnya berada di kota Jayapura (26/3/2020).
Di saat itulah ancaman pandemi seakan sudah berada di ambang pintu masyarakat Papua. Setidaknya fakta itu telah "mendiskualifikasi" asumsi yang telah terbangun dalam pikiran masyarakat Papua bahwa Papua tidak mungkin diserang pandemi Covid-19. Misalnya, karena Papua beriklim panas atau karena "herd imunity" yang dimiliki warganya lewat makan pinang. Menurut riset, pandemi Covid-19 memang hidup dan berkembang di tempat sejuk.
Namun belum ada pengujan yang membuktikan yang membuktikan bahwa Covid-19 akan hilang di tempat yang suhunya diatas 30-32 derajat Celsius mengingat pandemic ini terbilang baru dan belum ada data mengenai korelasinya dengan musim dan cuaca yang belum bisa dibuktikan kesahihannya.
Tingginya peneyebaran Covid-19 di Tiongkok pada Januari 2020 lalu, tidak sedikit yang meyakini (termasuk pemerintah) bahwa Indonesia tidak akan terpapar virus yang memiliki lapisan lipid tersebut. Namun setelah dua kasus positif meledak di awal Maret, pemerintah terlihat panik dan sibuk bereaksi, bahkan rekasi tersebut berbau menyangkal dan saling menyalahkan.
Kepanikan di dalam tubuh pemerintah itu kemudian menjelma antara lain dalam pelbagai produk innformasi terkait Covid-19. Sebagian dari informasi yang konstruktif dan berefek positif, memberikan harapan kepada masyarakat, juga diwarnai luberan kabar-kabar beraroma pesimistis plus hoax yang bertebaran di masyarakat. Hal ini disebabkan karena informasi mengenai Covid-19 dari pemerintah dan pihak terkait, belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh masyarakat.
Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang berusaha menyimpulkan dan beraksi menurut keterbatasan pemahaman yang dimiliki. Yang terjadi kemudian adalah kewaspadaan yang diekspresikan secara keliru hingga kemudian meresahkan banyak pihak. Misalnya, anggapan bahwa Covid-19 seperti penyakit aib sehingga penderitanya harus dikucilkan.
Padahal pandemi tidak melihat latar belakang sosial, kaya, miskin, tua, muda, kulit putih, hitam, berpendidikan tinggi, buta huruf, laki-laki, perempuan, semua punya peluang yang sama untuk terinfeksi Covid-19. Ada juga yang mengganggap rapid-test sebagai metode untuk mendiagnosa keterpaparan Covid-19 padahal rapid-test bukan diagnostik tetapi sebagai screening/seleksi/pilah antara yang berpotensi atau yang tidak berpotensi terinfeksi karena ada keluhan klinis, resiko terpapar, dan lain sebagainya.
Tapi meskipun bukan diagnostik, pemeriksaan ini sangat membantu dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.