Lihat ke Halaman Asli

Republik Anak “Alay”

Diperbarui: 27 Februari 2016   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sesuatu yang berlebihan belum tentu baik”, mungkin pepatah ini memang sering terucap di khalayak masyarakat. Pepatah ini diberikan untuk mengingatkan bahwa janganlah berlebihan ketika melakukan sesuatu, namun tampaknya pepatah ini belum begitu mengena di negara kita sendiri.

Masih hangat dalam benak pikiran kita tentang peristiwa jembatan gantung di Hutan Bale Jurong Kota Langsa, Aceh yang roboh akibat dinaiki 100 pengunjung yang ingin ber-“selfie” ria tanggal 26 Desember 2015 silam. Hal ini menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat sendiri. Kebanyakan masyarakat sendiri menilai bahwa hal itu merupakan kesalahan dari pengunjung yang memaksa ingin menaiki jembatan yang tidak dirancang untuk menampung beban tidak lebih dari 40 orang, hanya demi mengabadikan moment mereka saat berada di jembatan tersebut. Masyarakat akhirnya menghujat dan memberi label pengunjung tersebut sebagai anak-“alay”.

Sebelumnya, anak-“alay” ini juga pernah menghebohkan masyarakat dan netizen dengan mengunggah foto mereka sambil menginjak bunga lili yang berada di Taman Bunga Amarilis Gunung Kidul. Tentunya, hal ini menimbulkan kecaman bagi anak-“alay” tersebut. Terlebih lagi, sempat ada seorang oknum yang justru balik mengecam para netizen dari akun instagram-nya yang kutipan-nya sempat menjadi meme yaitu “suka-suka gue saja donk !”

Fenomena

Fenomena anak-“alay” di Indonesia bukanlah hal yang patut disepelekan. Justru hal ini adalah masalah sosial yang cukup besar, namun sayang kurangnya kesadaran masyarakat yang cenderung meremehkan hal ini justru membantu anak-“alay” meraja-rela di negeri kita ini. Sifat labil dan keras kepala yang biasanya ditunjukkan oleh anak-“alay” membuat masyarakat ogah menyadarkan mereka dan cenderung melakukan tindakan “bully” bagi anak-“alay” tersebut. Tentunya selain menyakiti perasaan anak-“alay” tersebut hal itu akan membuat anak-“alay” semakin berulah kembali.

Anak-“alay” sendiri biasanya lahir dari keluarga yang kurang mampu untuk memenuhi baik kebutuhan pendidikan, maupun rohani. Kebanyakan anak-“alay” ini sangat jarang mendapat pengakuan dari lingkungan masyarakat di sekitar mereka, sehingga mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat yang tak jarang justru berbuah negatif. Faktor lainnya adalah kurangnya pendidikan tingkah laku juga membuat anak-“alay” bertambah banyak, ditambah dengan tontonan televisi jaman sekarang yang mementingkan rating semata ketimbang konten tontonan tersebut yang tak jarang isinya sangat tidak mendidik.

Anak- “alay” adalah warga Indonesia yang juga berhak mendapat perlakuan yang sama dengan warga Indonesia lainya. Anak-“alay” bukanlah seorang kriminal yang harus dihakimi (bahkan kriminal pun seharusnya tidak boleh dihakimi) oleh masyarakat. Anak-“alay” adalah korban dari kejamnya dan dingin-nya ketidakadilan hidup sebab apa yang diinginkan anak-“alay” adalah sebuah pengakuan dari masyarakat bahwa keberadaanya diakui. Masyarakat harus mau membimbing mereka untuk berubah. Anak-“alay” sendiri adalah bibit bangsa Indonesia yang “tersesat”. Karena masa depan Indonesia akan lebih baik bila kita semua melepas segala perbedaan diantara masyarakat.

Pemecahan Masalah

Pemerintah harus memperbaiki kebijakkanya terhadap pendidikan di Indonesia yang sangat terfokus pada pendidikan akademis saja. Pemerintah juga harus gencar mensosialisasikan gerakan Revolusi Mental yang sekarang sedang digencarkan di berbagai media massa. Pemerintah juga harus  bekerjasama dengan masyarakat yang notabene dalam hal ini adalah keluarga sehingga fenomena anak-“alay” bisa diredam dengan lebih berkomunikasi antar keluarga, sehingga mereka akan lebih mendapat pengakuan dan tidak perlu melakukan hal-hal negatif. Selain itu mentalitas yang tidak berlebihan akan sangat menguntungkan Indonesia dalam hal SDM bagi pembangunan negara itu sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline