Lihat ke Halaman Asli

ADRIANA

Mengucap syukur dalam segala, Bersukacita setiap waktu.

Selera Memang Berbeda

Diperbarui: 8 Juli 2022   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika kita bisa melakukan sesuatu yang orang lain mungkin belum tentu bisa, biasanya ada rasa bangga dan mungkin bisa menjadi sesuatu yang kita bisa promosikan kepada orang lain tentang kemampuan kita tersebut. Hal tersebut pun saya alami dalam keluarga saya. Saya memiliki hobby memasak, banyak yang bilang apa yang saya olah di dapur menjadi masakan yang mengundang selera. Keren kan? tentu saja keren. Parahnya banyak saudara yang memercayakan saya untuk membuat makanan istimewa di hari kesempatan istimewa misalnya lebaaran, natal atau pas kumpul-kumul keluarga. Bangga dong! Tentu saja. 

Tapi suatu ketika apa yang selama ini saya banggakan, rupanya tidak berlaku di tempat lain. Kok bisa, ya? Tentu saja bisa. Suatu ketika saya harus berpindah dan menetap di salah satu propinsi di ujung timur bagian selatan Indonesia. Hayooo tebak di mana itu?

Di tempat ini, saya menemukan banyak hal yang berbeda, mulai dari bahasa, cara berbicara, cara besosialisasi dan tentu saja selera makanan yang akan disantap. Makanan yang disajikan oleh  penduduk lokal adalah makanan berat, yaitu nasi dan teman-temannya. Jarang sekali saya menemukan penganan ringan yang disajikan untuk menjamu tamu.  Bayandgkan betapa kenyangnya perut kita saat  kembali ke rumah. Sangat tidak sopan jika sudah bertandang ke rumah penduduk lokal tapi menolak hidangan makanan dengan alasan sudah kenyang atau sidah makan. mereka pasti akan menilai kita adalah orang yang sombong dan tidak menghargai pemilik rumah yang sudah menyiapkan hidangan makanan tersebut.

Berbeda dengan apa yang ada di Jawa kan? Di Jawa, pemilik rumah tidak selalu menghidangkan makanan berat, tapi hanya menghidangkan cemilan kecil yang saat itu mereka punya. Karena jarang sekali saya menemukan penganan ringan seperti yang sering saya temukan di Jawa. Maka saya mencoba membuat penganan sederhana dengan bahan yang mudah sekali didapat dari penduduk lokal. Mulailah saya dengan self confidence yang sangat tinggi saya membuat jadah atau tetel, jenis penganan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa parut. Proses membuatnya juga sangat mudah.Dan tibalah saat untuk menyajikan. Saya pikir, saya akan mendapat pujian seperti yang biasa saya terima sebelumnya. Rupanya respon yang diberikan cukup mengagetkan, mereka hanya menguca[kan 'ENAK SICH, TAPI KURANG MENANTANG" karena tekstur jadah yang lembut dan empuk, membuat jadah bukan menjadi makanan favorit mereka. Untuk rasa jadah yang dibuat memang tidak diresponi, hanya ekstur dari jadah yang membuat mereka agak ngeri untuk menyantapnya. Mungkin karena mereka terbiasa dengan cemilan keras seperti jagung goreng atau singkong rebus, ketika menikmati penganan ringan dalam keseharian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline