Kurang lebih sebulan lagi, negara kita akan menggelar hajatan demokrasi. Di pesta lima tahunan itu, kita tak hanya memilih wakil rakyat (anggota dewan), melainkan juga presiden, kepala sekaligus otaknya rakyat.
Namun, ketika pemilu sudah di depan mata seperti ini, justru masih terdapat persoalan, terutama dalam hal persiapan jelang hajatan.
Permasalahan daftar pemilih tetap (DPT) misalnya, masih saja ramai. Padahal, saat ini kita sudah memakai sistem identitas tunggal dan terdapat chip di KTP kita, yang menjadi basis penentuan DPT. (Sumber)
Tapi, kenapa masih bisa muncul DPT ganda? Apakah ini berarti terdapat penduduk yang memiliki KTP dobel atau bahkan lebih?
Terlebih ada WNA yang justru masuk ke dalam DPT. Pertanyaannya, sejak kapan WNA memiliki hak suara di Indonesia? (Sumber)
Di sini, saya bukan bermaksud skeptis, atau mau mendelegitimasi pesta tahunan. Tidak!
Sebaliknya, di berbagai negara manapun, pesta rakyat untuk menentukan pemimpinnya itu selalu disertai prinsip jujur, adil.
Ini artinya, kejujuran jadi prasyarat yang harus dipenuhi oleh panitia, dalam hal ini lembaga negara yang berwenang. Termasuk adil, juga jadi sifat yang wajib dimiliki oleh lembaga penyelenggara tersebut, terutama pada perlakukan terhadap para kandidat.
Sudahlah, saat ini kita tinggal menghitung hari. Kita tentu berharap penyelenggara negara, terutama panitia pemilu memiliki dua sifat tersebut.
Karena melalui penyelenggara yang jujur dan adil, akan tercipta pemimpin yang jujur dan adil pula. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H