Lihat ke Halaman Asli

Adrian Chandra Faradhipta

TERVERIFIKASI

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Kesalahannya Offline Maafnya Online, Apakah Baik Demikian?

Diperbarui: 13 Mei 2021   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: shutterstock

Sebenarnya saya tidak menemukan bahwa Idul Fitri adalah momen yang khas untuk bermaaf-maafan, entah mungkin karena keterbatasan ilmu saya terkait fiqh atau horizon berpikir saya yang kurang luas.

Namun, saya meyakini bahwa meminta maaf ataupun memaafkan bukan hanya pada momen Idul Fitri saja. Meminta maaf dan memaafkan harusnya diusahakan ketika kita berbuat salah ataupun sebelum orang lain yang melakukan kesalahan kepada kita meminta maaf kepada kita.

"Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apa pun, maka hari ini ia wajib meminta agar perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari saat tidak ada ada dinar dan dirham, karena jika orang tersebut memiliki amal saleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal saleh maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi." (H.R Bukhari, no. 2449)

Maaf-maafan Ketika Lebaran

Mungkin mengapa momen bermaaf-maafan identik dengan Idul Fitri adalah karena pada saat itu momen kita seolah kembali menjadi fitri meraih kemenangan setelah menahan hawa nafsu sebulan lamanya, dan pada saat itu juga momen kita kerap berkumpul bersama keluarga dan handai taulan sehingga dapat dijadikan momen bermaaf-maafan langsung dengan semua pihak.

Ilustrasi. Sumber: konsultasisyariah.com

Lalu apakah salah? Saya pribadi berpikir tidak salah dan bisa jadi baik, namun harus kita luruskan meminta maaf dan memberi maaf tidak hanya ketika lebaran.

Lalu bagaimana ketika di masa pandemik ketika kita tidak bertemu langsung? Sekarang semua serba online termasuk bermaaf-maafan entah melalui tulisan, media sosial, ataupun video call-an.

Apakah kurang afdol bermaaf-maafan tanpa sungkeman tanpa rangkulan tanpa kedekatan yang menghangatkan seperti Ramadan sebelumnya?

Saya berpikir tentu kita harus paham esensi dari bermaafan yaitu mengikhlaskan perbuatan pihak lain yang kemungkinan tidak berkenan bagi diri kita ataupun sebaliknya meminta maaf atas segala hal yang membuatkan orang lain tidak berkenan terhadap diri kita. Meski bisa jadi memaafkan belum tentu melupakan, namun esensinya memaafkan atau meminta maaf adalah mengkikhlaskan.

Apakah mengikhlaskan harus dengan offline atau tatap muka karena kerapa kesalahan orang lain kepada kita ataupun dari kita ke orang lain dilakukan secara langsung dan tatap muka bukan melalui online?

Tidak ada keharusan yang terpenting kedua belah pihak telah rida dan rela hati untuk memaafkan atau mengikhlaskan dan membuka lembaran baru untuk menatap ke depan. Memaafkan atau meminta maaf adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline