Semasa di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya masih mengingat bagaimana kami murid-murid diberikan tugas khusus selama bulan Ramadan oleh guru-guru kami. Tugas ini "konon" menjadi penilaian khusus untuk mata pelajaran agama islam. Tugas tersebut adalah mengisi buku kegiatan Ramadan yang merangkum aktivitas dan amalan-amalan yang kami kerjakan sepanjang bulan Ramadan.
Di dalamnya juga dibuatkan sebuah kolom khusus untuk merangkum ceramah agama yang kami dapatkan di majelis-majelis ilmu, seperti pengajian di masjid ataupun mendengarakan serta menontonnya melalui saluran radio ataupun televisi.
Meski dahulu saya juga sanksi bagaimana mengkuantifikasi amalan seorang murid selama Ramadan dan bagaimana memastikan bahwa yang murid tulis adalah sebuah kebenaran. Namun akhirnya setelah tumbuh besar bahkan berkeluarga saya paham bahwa mengisi buku kegiatan Ramadan tadi memiliki nilai-nilai pembelajaran di dalamnya terutama kejujuran.
Awalnya Beban, Akhirnya Merindukan
Hadirnya buku kegiatan Ramadan ini layaknya sebuah tugas "tambahan" bagi para murid menjelang dan selama Ramadan.
Setiap hari kami dituntut untuk memerinci aktivitas puasa, salat, menghadiri ceramah dan kajian Islam, tadarus Al Quran dan amalan-amalan khas Ramadan lain sebagainya.
Seingat saya kami tidak terlalu bersemangat untuk mengisi buku kegiatan Ramadan ini, namun hal yang kami nantikan sebenarnya beribadah dan berkumpul bersama teman-teman sambil menceritakan isi kegiatan buku Ramadan kami.
Bagian yang paling dinantikan adalah mendengarkan ceramah para ustaz ataupun tokoh agama di kampung halaman kami selepas salat isya menjelang salat tarawih ataupun kajian tambahan setelah salat tarawih. Tidak hanya mendengarkan kami diharuskan untuk merangkum isi ceramah tersebut dan selepas dirangkum harus dibubuhi tanda tangan oleh narasumber yang notabene ustaz atau tokoh agama tersebut. Tak ayal selepas salat tarawih anak-anak akan berebut berkerumun meminta tandatangan ustaz ataupun tokoh agama tersebut, layaknya seorang aktor ataupun penyanyi terkenal.
Tak jarang kerubungan tanda tangan tadi menjadi riuh dan berdesak-desakan sehingga menimbulkan kehebohan di masjid atau musala dan langgar lalu berujung teguran oleh sang penceramah ataupun pengurus masjid.
Setelah ditegur pun kami biasanya hanya misuh-misuh dan sambil tertawa, menertawakan bagaimana mbalelo-nya kami hanya demi sebuah tandatangan sang "artis" penceramah.