Sebuah prestasi membanggakan sekaligus memalukan aparat penegak hukum Indonesia.Taipan sekaligus korupor kelas kakap Indonesia, Djoko Tjanda bisa tertangkap di negeri jiran setelah bertahun-tahun melarikan diri ke berbagai negara dan mondar-mandir masuk Indonesia. Meski akhirnya penangkapan ini membuka borok para aparat penegak hukum lainnya, karena memfasilitasi Djoko Tjandra bebas keluar masuk Indonesia seperti tanpa dosa.
Banyak yang tentu bertanya-tanya mengapa dibutuhkan 11 tahun sang konglomerat ini baru bisa ditangkap? Bukankah untuk kasus-kasus luar biasa seperti terorisme saja bisa dalam waktu cepat ditangkap. Mirip dengan kasus penyerangan dengan air keras pada Novel Baswedan aroma dan dugaan kongkalikong aparat disinyalir kuat turut andil dalam kasus ini.
Dari penelusuran setidaknya ada tiga jenderal di kepolisian yang diduga memuluskan langkah Djoko Tjandra dalam pelarian yaitu Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo, dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, belum lagi pengacara dan aparat penegak hukum lainnya yang diduga juga berperan melanggengkan pelarian Djoko Tjandra.
Kita harus jujur di negeri ini masih sangat banyak pilih kasih dalam penegakan hukum. Kita tentu melihat berbagai kasus pidana minor yang harusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan ataupun di luar pengadilan harus berujung dengan penjara yang terkadang vonisnya terlalu memberatkan.
Sebut saja kasus hukum yang menjerat seorang nenek di daerah Balige, Sumatera Utara yang divonis 1 bulan 4 hari karena menebang pohon durian yang baru sebesar 5 inci. Ada juga Nenek Asyani yang divonis bersalah dengan vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan tahun 3 bulan dan denda Rp 500 ribu subsider 1 hari hukuman percobaan karena mencuri dua batang kayu jati milik Perhutani untuk alas tidurnya.
Di sisi lain, kita semakin dipertontonkan bagaimana para koruptor ataupun pelaku kejahatan berdasi yang meski dihukum penjara namun sering berujung dengan berlaku semena-mena di tahanan dengan fasilitas yang bukan kaleng-kaleng sehingga efek jera, jauh api dari panggang. Dari Artalyta Suryani, Gayus Tambunan sampai Setya Novanto yang terbongkar karena wawancara dengan Najwa Shihab.
Satu hal lagi yang menjadi PR kasus-kasus korupsi di negeri ini, belum ada aturan yang tertulis untuk memiskinkan koruptor beserta kroni-kroninya.
Ya memang sebenarnya kita perlu apresiasi Mahkaham Agung (MA)mengeluarkan pedoman tentang penjatuhan sanksi untuk kasus-kasus terkait korupsi yang dikeluarkan baru-baru ini, meski sebenarnya menurut Asep Iriawan seorang mantan hakim dalam wawancara dengan BBC Indonesia (04/08/2020) mengatakan
"Seseorang tidak boleh dihukum kecuali berbasis undang-undang, asasnya nullum delictum nulla poena. UU Tipikor sudah mengatur 30 jenis tindak pidana korupsi. Kalau sudah diatur, buat apa dikasih pedoman?"
Di dalam Peraturan MA 1/2020 diatur standar sanksi untuk rujukan hakim dalam mengadili kasus-kasus terkait pelanggarana pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi terkait perbuatan melawan hukum, baik pejabat negara maupun bukan, untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara.
Pelaku yang masuk kategori paling berat adalah yang menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp100 miliar, mendapat keuntungan lebih dari 50%, dan menyebabkan dampak berskala nasional. Untuk kategori ini, hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup 16-20 tahun atau seumur hidup serta denda Rp800 juta sampai Rp1 miliar.