Apa yang Anda pikirkan ketika melihat tontonan di berbagai stasiun TV di Indonesia? Terlalu banyak konten tidak mendidik dan terkesan "picisan"? Atau terlalu banyak muatan politis terafiliasi kepada si pemegang saham perusahaan?
Fakta semakin banyaknya tayangan TV serta iklan yang bersliweran di stasiun TV yang dibumbui dengan unsur-unsur pornografi, pornoaksi, afiliasi politik, dan unsur-unsur tidak patut lainnya membuat masyarakat mulai jengah.
Banyak dari masyarakat sekarang yang mulai beralih ke tontonan yang lebih berbobot dan memiliki kualitas yang mumpuni dengan cari berlangganan TV kabel dengan siaran TV luar, menonton Youtube ataupun berlangganan Netflix misalnya.
Kejengahan ini semakin menjadi-jadi ketika Agung Suprio, salah satu Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang notabene lembaga yang berhak untuk menjadi "polisi" bagi stasiun TV di Indonesia melemparkan wacana untuk mengawasi konten media digital seperti Youtube dan Netflix.
Padahal, seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa KPI seperti tak bertaring dan tak bertaji ketika mengawasi stasiun-stasiun TV di Indonesia. Sampai dengan saat ini kita masih saja kerap menyaksikan tayangan yang tidak berkualitas dan tidak mendidik masih menghiasi layar kaca kita. Belum lagi banyak aduan masyarakat yang masih saja tak jelas tindaklanjutnya oleh KPI.
Melansir Remotivi dari periode September 2013 sampai Juni 2015 KPI tercatat mengeluarkan 408 sanksi bagi sejumlah program dari berbagai stasiun TV. Namun, nampaknya sanksi tersebut hanya menjadi angin lalu bagi stasiun-stasiun TV tersebut.
Buktinya setelah itu mereka masih menyiarkan konten yang bermuatan politik praktis berpihak, pornoaksi, pornografi, narasi yang menyinggung SARA, bias gender, dan lain sebagainya.
Di sisi lain banyak aduan dari masyarakat yang tidak ditindaklanjuti khususnya untuk konten yang bermuatan politik praktis, sangat minim kita dengar KPI memberikan teguran dan peringatan keras terhadap stasiun TV yang menghadirkan acara ataupun konten berafiliasi politik praktis dan memihak para pemiliki stasiun TV terkait.
Belum lagi polemik temuan oleh Ombudsman terhadap KPI tentang maladministrasi dalam pemilihan komisioner KPI. Dari tidak adanya petunjuk teknis dan SOP mekanisme seleksi calon komisioner sampai dengan tidak adanya standar penilaian baku terhadap kandidat komisioner KPI.
Hal ini tentunya sangat berdampak nantinya bagi kualitas dan integritas dari calon komisioner KPI nantinya. Maka tidak heran jika masyarakat menduga KPI banyak diisi oleh orang-orang yang merupakan perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda.
Dari sisi aturan hukum pernyataan komisioner KPI untuk mengawasi konten media digital baru ini tentu tidak sesuai. Karena KPI di dalam Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 memiliki wewenang hanya mengawasi siaran televisi dan radio. KPI tidak memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya.