Lihat ke Halaman Asli

Adrian Chandra Faradhipta

TERVERIFIKASI

Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggugat Kompetensi Calon Legislatif Kita

Diperbarui: 5 April 2019   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster caleg partai politik terpasang di pohon Jalan HOS Cokroaminoto, Ciledug, Tangerang, Banten, Selasa (18/2/2014). Pelanggaran berupa pemasangan alat peraga di pohon, tiang listrik, hingga sarana dan prasarana publik masih bisa ditemui di banyak tempat. (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

Sebuah ongkos demokrasi yang mahal memilih wakil masyarakat yang duduk di kursi parlemen baik daerah dan pusat setiap periode, khususnya di negeri kita yang katanya salah satu yang paling demokratis di dunia,. Panggung pemilihan layaknya panggung perebutan pengaruh oleh para calon legislatif yang mengejar tampuk kekuasaan di kursi parlemen. 

Menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah sebuah anomali ataukah kemakhfuman ketika banyak orang yang tergila-gila mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif? 

Apakah sebuah niatan tulus ataukah "udang di balik batu" sehingga terlalu bernafsu menduduki kursi kehormatan parlemen tersebut? Pertanyaan abu-abu yang terus menjadi momok bagi masyarakat kita.

Fenomena ini menggelitik saya untuk membuat artikel sederhana ini. Selain juga dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya melihat banyaknya baliho, pamphlet, dan selebaran kampanye para calon anggota legislatif yang berseliweran di daerah kampung halaman saya, sebut saja Kab. XXX di Provinsi Sumatera Selatan yang jujur sangat mengotori keindahan dan kerapian kota tempat saya berasal. 

Saya yakin hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di seantero Indonesia. Sebuah bentuk pemborosan yang sangat tidak perlu mengorbankan begitu banyak dana hanya untuk menjadikan kita dikenal dan dipilih oleh konstituen kita, sebagian mengatakan ini sebuah risiko finansial yang harus diambil ketika akan menjadi "public figure".

Apapun itu jika berlebihan akan menjadikannya suatu bentuk kesia-siaan. Alangkah bijaknya jika dana sebesar itu kita gunakan untuk membantu yang papa maupun kurang beruntung. Lebih jauh, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada teori aksi dan reaksi dalam politik khususnya dana kampanye ini. 

Logikanya ketika ada aksi untuk menggelontorkan dana kampanya yang menurut kalkulasi dan hemat saya bisa lebih besar daripada gaji mereka ketika terpilih menjadi anggota legislatif, reaksi selanjutnya adalah bagaimana mengembalikan dana yang digelontorkan tersebut disamping dari gaji? Ya, mungkin "berbisnis"? Berbisnis kepentingan rakyat, berbisnis kekuasaan, atau berbisnis kedigdayaan?

Saya pribadi tidak menafikkan fakta bahwa masih banyak calon legislatif yang benar-benar murni dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, apa salahnya jika menilik kecemasan rakyat yang terlalu sering ditelikung oleh wakilnya di parlemen selama ini untuk mendasari saya menggugat kompetensi dari para calon legislatif kita?

Fakta yang lucu ketika di daerah saya kerap saya temukan baliho yang terpasang menampilkan gambar calon legislatif dengan anggun dan gagahnya berpose ditambah dengan embel-embel nama orangtua mereka yang notabene tokoh di daerah saya sebut saja misal Tukiyem Binti XXX atau Tukiman Bin YYY. 

Hal lain adalah gelar pendidikan yang panjang dan apik diperkirakan akan menambah pesona mereka. Anehnya hampir tidak ada yang menampilkan visi dan misinya. Saya mencoba membagi kelucuan dan sedikit keluguan calon legislatif ini menjadi beberapa jenis dan tipe.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline