Beberapa hari ini ramai dibicarakan permasalahan bekas tahanan kasus korupsi yang maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), entah itu sebagai gubernur/wakil maupun bupati/wakil atau walikota/wakil. Kebanyakan majunya calon kepala daerah bagi bekas napi koruptor berasal dari partai. Artinya partai mengusung yang bersangkutan untuk maju dalam ajang pilkada.
Majunya kader partai mantan napi koruptor ke ajang pilkada mendapat tanggapan keras baik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Indonesia Corruption Watch (ICW) dan juga masyarakat pengiat anti korupsi. Tentulah tidak semua orang menentang niat mantan napi korupsi ini maju dalam pilkada. Setidak-tidaknya partai pengusung mendukungnya.
Akan tetapi, majunya seorang mantan napi korupsi dalam ajang kontestasi pilkada menunjukkan adanya krisis. Hal ini sungguh-sungguh menunjukkan situasi krisis. Apa saja krisisnya?
Pertama, krisis kader. Krisis ini lebih ditujukan kepada partai politik pengusung. Dengan mengusung mantan koruptor maju dalam pilkada, hal ini memperlihatkan bahwa partai politik (parpol)sedang mengalami krisis kaderisasi. Sepertinya parpol tidak mempunyai kader lain yang dapat diusung sebagai kepala daerah, sehingga mantan napi korupsi pun diusung. Adanya krisis kader ini sekaligus menunjukkan tidak jalannya kaderisasi dan pendidikan politik di parpol.
Partai politik yang mengalami krisis kader (tidak jalannya kaderisasi dan pendidikan politik di partai) patut dipertanyakan visi-misinya. Dapat dikatakan bahwa parpol seperti ini tidak sehat. Orientasi politiknya hanya sesaat saja. Bukan tidak mustahil, hanya menguntungkan para pengurusnya saja. Karena itu, masyarakat harus bersikap kritis terhadap partai politik seperti ini. Dengan kata lain, jangan pilih baik calon kepala daerah maupun parpol yang mengusungnya.
Kedua, krisis pemberantasan korupsi. Negara ini sudah mencanangkan darurat korupsi. Korupsi dilihat sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu, dituntut keseriusan dalam pemberantasannya, yang dapat dimulai dari tindakan pencegahan.
Akan tetapi, dengan memberi kesempatan mantan napi korupsi maju dalam pilkada (juga dalam kegiatan politik lainnya, seperti pileg), sangat jelas tidak adanya upaya untuk mengurangi korupsi. Yang terjadi justru akan menambah. Karena politikus akan berpikir, lebih baik melakukan korupsi dengan angka yang sangat tinggi, supaya ada biaya untuk sidang pengadilan dan juga biaya kampanye saat menjadi calon kepala daerah. Yang dimaksud biaya kampanye di sini termasuk juga biaya membeli suara dari rakyat. Dan kalau sudah jadi kepala daerah, mulai lagi korupsi. Dengan demikian akan terciptalah lingkaran setan korupsi.
Ketiga, krisis moral. Uang merupakan pusat pusaran krisis ini. Segala sesuatu karena, oleh dan untuk uang. Politikus melakukan tindak korupsi karena dan untuk uang, entah itu untuk kebutuhan hidup keluarga maupun untuk biaya politik. Oleh uang itu juga, politikus bisa melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita. Partai mengusung kader mantan napi korupsi maju dalam pilkada juga karena uang. Bukan tidak mustahil, dalam pilkada nanti, masyarakat tidak lagi melihat label "mantan napi korupsi" tetapi melihat lembaran rupiah. Siapa sih yang tak butuh duit?
Krisis moral ini tidak hanya ditujukan kepada partai pengusung, tetapi juga masyarakat yang mendukung malah memilih mantan napi korupsi. Di sini terlihat jelas bahwa kita sudah tidak bisa lagi membedakan dan memisahkan mana yang baik dan mana yang jahat. Yang ada adalah baik dan jahat menyatu dalam lembaran rupiah. Dalam lembaran rupiah, kejahatan menjadi baik.
DEMIKIANLAH 3 krisis yang terlihat dari fenomena majunya mantan napi korupsi dalam pilkada, dan juga pileg. Dari ketiga krisis ini, sekalipun ketiganya bisa merupakan akumulasi, krisis moral merupakan persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang mengalami krisis moral cepat atau lambat akan menuntunnya ke lembah kehancuran.
Karena itu sangat menarik untuk merenungkan kata-kata Presiden Amerika Serikat ke-26, Theodore Roosevelt, "Here is your country. Cherish these natural wonders, cherish the natural resources, cherish the history and romance as a sacred heritage, for your children and your children's children. Do not let selfish men or greedy interests skin your country of its beauty, its riches or its romance." Jangan biarkan egoisme dan kerakusan (baca: korupsi) merusak bangsa kita.