Lihat ke Halaman Asli

Adrian Susanto

aku menulis, aku ada

Pelajaran dari Banjir Jakarta

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cukup menarik jika kita menyimak karikatur di Media Indonesia, Rabu, 15 Januari 2014, halaman 14. Di sana digambarkan sosok Jokowi yang berdiri di tengah kubangan air. Ini adalah gambaran banjir yang menerjang kota Jakarta. Dari keempat sudut gambar itu ada empat gambar tangan yang menunjuk ke arah Jokowi seakan hendak menuding bahwa bencana banjir ini karena kesalahan Jokowi, sebagai simbol Pemprov DKI Jakarta. Yang membuat menarik dari gambar ini adalah komentar dari salah satu telunjuk tangan, “Kenapa kok cuma dia yang dituding?”

Pertanyaan tersebut benar-benar mau menggambarkan realitas yang ada. Sejak banjir menerjang kota Jakarta, 13 Januari lalu, sorotan komentar negatif terarah kepada Pemprov DKI Jakarta. Yang sering kena imbasnya adalah Jokowi. Banyak orang, banyak pihak dan juga media, termasuk TV One, memanfaatkan bencana banjir ini untuk menyerang sosok Jokowi. Mungkin bertujuan mengurangi elektabilitasnya sebagai calon presiden 2014.

Karena itu, sangat benar apa yang diungkapkan oleh karikatur di Media Indonesia: “Kenapa kok cuma dia yang dituding?” Karikatur ini hendak mengatakan kepada kita bahwa masalah banjir ini bukan semata-mata urusan Jokowi dan/atau Pemprov DKI Jakarta saja. Masalah banjir adalah persoalan banyak pihak: Pemprov DKI, Pemerintah Pusat, warga DKI dan Pemda Bogor dan Depok.

Dari peristiwa banjir kemarin, saya melihat ada beberapa pelajar berharga yang dapat kita ambil. Pertama, empati seorang pemimpin. Sejak debit air di beberapa pintu air menunjukkan tanda-tanda signifikan, Jokowi sudah turun ke lapangan. Bahkan ketika banjir melanda, Jokowi ada bersama warganya. Beliau turut memantau langsung banjir dan derita warganya. Tak ada sisten menunda. Bencana terjadi, beliau langsung hadir.

Hal ini berbeda dengan pimpinan negara ini. Ambil contoh, sudah hampir empat bulan bencana Gunung Sinabung, baru hari ini (pertengahan Januari), Presiden SBY mengunjungi warga korban bencana. Karena itu, banyak pengamat langsung menilai bahwa kunjungannya itu merupakan wujud pencitraan; untuk menaikkan elaktibilitas partainya. Maklum, sebelumnya, citra Partai Demokrat jatuh karena ulah Bupati Karo, yang merupakan kader Partai Demokrat. Bisa dikatakan kalau kunjungan SBY ke Tanah Karo, bukan menunjukkan empatinya, melainkan citranya.

Kedua, masalah sampah. Diberitakan bahwa pada tanggal 14 Januari, air banjir mulai menyurut. Surutnya air meninggalkan sejumlah persoalan. Salah satunya adalah sampah. Ada begitu banyak sampah yang dibawa banjir memasuki rumah, halaman dan jalanan. Sampah-sampah ini selain membuat kesan kotor dan jorok, juga meninggalkan aroma tidak sedap. Tentulah beberapa penyakit siap menguntit.

Kita bisa bertanya, sampah-sampah itu dari mana? Tentulah tak bisa dilepaskan dari ulah warga. Tanpa ada kesadaran, banyak warga dengan seenaknya saja membuang sampah di sungai atau sembarang tempat. Nah, ketika banjir, air membawa sampah itu. Seakan mau dikatakan bahwa banjir mengembalikan lagi sampah yang dibuang sembarangan oleh penduduk. Jadi, sebenarnya banjir mau memberi kita pelajaran agar kita jangan membuang sampah ke sungai, kali atau selokan.

Ketiga, bisanya menuntut, tapi tidak mau dituntut. Sejak Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, banjir merupakan salah satu target kebijakannya. Jokowi tidak tinggal diam. Beliau langsung bertindak dan membuat beberapa keputusan. Artinya, kebijakan penanganan banjir sudah ada, namun pelaksanaannya selalu terbentur dengan beberapa pihak. Salah satunya adalah warga. Contohnya, soal rencana pembuatan waduk Ria Rio dan waduk Pluit mendapat semacam perlawanan dari warga. Pemda juga sudah buat kebijakan untuk tidak membuang sampah ke sungai.

Ketika banjir melanda, semua warga yang jadi korban menuntut perhatian dari pemerintah. Mereka menyampaikan harapan-harapannya agar pemerintah (DKI Jakarta) memperhatikan nasib mereka. Sungguh ironis, di saat pemerintah menyampaikan harapannya demi warganya, para warga mengabaikannya. Namun, di kala warga terkena dampak akibat ulahnya sendiri, warga menuntut pemerintah memperhatikan nasibnya.

Karena itu, hendaknya peristiwa banjir ini memberi pelajaran kepada warga DKI Jakarta supaya tidak hanya bisa menuntut, melainkan juga mau dituntut. Warga jangan hanya memperhatikan kepentingannya sendiri. Harap diingat, apa yang dituntut dari pemerintah itu semata demi kepentingan warga juga. Di sini berlaku seperti apa yang pernah dikatakan Presiden Amerika Serikat, Kennedy, “Jangan tanya apa yang bisa pemerintah berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan untuk pemerintahmu.”

Jakarta, 15 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline