Badan publik pemerintahan memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem birokrasi yang sudah terintegrasi di dalamnya. Akan tetapi, pengalaman uji akses yag dilakukan di beberapa badan publik menunjukan bahwa birokrasi belum sepenuhnya mendukung pelayanan informasi yang cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara yang sederhana sebagaimana yang di amanatkan oleh UU. Selama melakukan permintaan informasi, ada beberapa fakta seperti berikut;
a.Birokrasi Sebagai Penghambat Utama Keterbukaan Informasi
a.Pimpinan mempengaruhi keterbukaan informasi
Pengalaman ini didapat saat ada konfirmasi badan publik untuk mengambil informasi ke kantornya. Akan tetapi, setelah didatangi, informasi yang di janjikan belum diberikan. Hal ini terjadi dikarenakan, pimpinan yang menguiasai informasi tersebut tidak ada di kantor. Pegawai badan publik justru meminta pemohon untuk datang kembali pada saat yang telah di tentukan, sudah barang tentu ketika pimpinan tersebut sedang ada di kantor.
b.Surat permintaan informasi anggaran dianggap seperti surat ‘sangat penting’, pegawai badan publik tidak menerima.
Pengalamn ini didapat dari beberapa badan publik yang mendapati pegawai badan publik menolak surat permohonan informasi anggaran. Permintaan informasi anggaran adalah permintaan yang sangat penting. Akibatnya, penerimaan surat informaasi berlangsung cukup lama karena harus menemukan pegawai yang “siap” menerima.
c.Beda badan publik, beda pula jabatan penerima surat
Ketiadaan unit yang khusus melayani permintaan informasi mengharuskan pemohon informasi untuk menyampaikan surat informasi ke bagian penerima surat pada umumnya. Setidaknya, di beberapa badan publik ada empat unit kerja yang menerima surat permohonan informasi, yaitu tata usaha, Humas, penerima Tamu, bahkan ada juga bagian security di kantor badan publik. Walau demikian, beberap badan publik sudah menyediakan PPID sehingga surat bisa langsung di terima oleh PPID.
d.Inventarisasi surat permohonan informasi
Surat permintaan informasi menjadi instrumen penting untuk memverifikasi permintaan. Namun sayangnya, inventarisasi surat tersebut belum dikelola dengan baik. Sehingga, saat mengkonfirmasi surat yang sudah di sampaikan kepada badan publik, badan publik tersebut meminta untuk mengirim kembali surat permohonan tersebut. Ada juga badan publik yang menghubungi pemohon secara langsung untuk mengirimkan kembali. Ada beberapa alasan menyangkut kejadian tersebut, diantaranya adalah, restrukturisasi jabatan, dan perpindahan kantor.
e.Tingkat eselon mempengaruhi pelayanan informasi
Investigasi lapangan juga menemukan bahwa tingkat eselon PPID cukup mempengaruhi proses pelayanan informasi. Ada indikasi kesulitan PID yang dijabat oleh eselon III atau dibawahnya untuk mengkoordinasikan permintaan informasi ke satuan kerja lainya.
b.Tidak ada PPID, akses informasi terhambat
Hal ini berdasarkan pada pengakuan beberapa badan publik yang merespon permintaan. Respon tersebut menyampaikan bahwainformasi belum dapat diberikan karena PPID belum dibentuk. Bahkan, ketiadaan PPID juga menghambat proses mediasi. Penyelesaian sengketa informasi yang seharusnya dapat diselesaikan pada mediasi pertama dilanutkan ke mediasi kedua karena tidak hadir di mediasi pertama.
Hal ini memang tidak terjadi di semua badan publik. Karena meskipun PPID belum dibentuk, pelayanan informasi umumnya juga dilayani oleh bagian Hubungan Masyarakat (humas) atau bagian lain yang terkait dengan penerangan, komunikasi, dan informasi akan tetapi, seperti yang sudah di jelaskan, hal itu pun membuat kelemahan yang baru.
c.Belum tersedia mekanisme pelayanan permintaan informasi secara tidak tertulis
Pelayanan informasi secara tidak tertulis belum menunjukkan hasil yang cukup baik. Dari beberapa badan publik yang dimintai informasi secara tidak tertulis, tidak ada satupun badan publik yang memberikan informasi. Padahal, mekanisme permintaan informasi seperti ini di atur dalam UU KIP. Setiap permintaan informasi anggaran masih diharuskan secara tertulis. Meski demikian, ada badan publik yang memberikan form permintaan informasi yang harus diidi oleh pemohon jika dilakukan secara lisan.
d.Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara Menjadi Kendala Keterbukaan Informasi Publik
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara mengindikasikan kendala baru dalam pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik. Luasnya materi yang dibahas dalam RUU Rahasia Negara, menjadikan overlapping dalam sistem advokasi yang terkandung di dalam kedua peraturan tersebut. Sehingga, beberapa badan publik mengalami keraguan dalam memberikan informasi yang di minta oleh pemohon.
Rancangan UU Rahasia Negara menjadi titik tolak dari Keterbukaan Informasi yang beredar di era keterbukaan dan transparan. Terlebih, UU Keterbukaan informasi sudah menjelaskan dan mencoba mengerti, bagian mana saja informasi yang tidak bisa di jangkau oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H