Lihat ke Halaman Asli

Selimut Debu dalam Hujan Abu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin menceritakan tentang apa yang saya bisa ambil dari sebuah karya dari Agustinus Wibowo yang berjudul Selimut Debu. Buku tersebut merupakan kumpulan catatan perjalanan dari backpacker Indonesia yang sudah mengunjungi tempat tempat eksotis di Asia Tengah.

Beratnya hidup di Afghanistan menjadi sangat kontras dengan kehidupan di Indonesia. Agustinus berkali kali harus merasakan sulitnya hidup menjadi pengelana yang hidup kemanapun ia suka. Sebagai seorang petualang, ia menjelajahi setiap sudut Afghanistan, Iran, dan negeri di sekitarnya. Melihat sendiri bagaimana kesukuan dan diskriminasi menjalari setiap bagian dari negeri tersebut. Bagaimana rumitnya birokrasi yang menyulitkan seorang pelintas batas dari Afghan untuk mencari hidup di negeri orang sementara negeri tetangganya tersebut tak lagi sudi menerima mereka. Buku ini adalah tentang bagaimana sisa sisa peradaban ribuan tahun lalu dihancurkan oleh orang yang mengaku muslim tetapi tidak memahami hakikat Islam sebagai agama pembawa kedamaian. Sebuah patung Budha terbesar di dunia dihancurkan oleh Taliban. Tentunya tidak perlu menghancurkan sebuah masterpis sejarah yang berdiri karena situs tersebut adalah warisan nenek moyang yang akan memberitahukan pada anak cucu bahwa pernah ada orang orang sebelumnya mengukir cerita di tempat tersebut. Sungguh pemikiran orang orang yang picik dan lebai menurut saya. Dalam perjalanan, Agustinus juga menemukan adanya situs lain dimana sisa sisa peradaban lainnya berdiri tegak di sela bebatuan di tengah hamparan gersangnya Afghanistan. Untungnya bukti peradaban itu tidak menjadi salah satu korban dari perang. Buku ini juga tentang bagaimana budaya adalah bagian yang mutlak dimiliki oleh masyarakat. Budaya orang orang Afghan dengan segala lika liku kehidupan mereka. Pakaian, makanan, cara hidup, bahasa, pekerjaan. Semua dilihat oleh Agustinus secara live karena ia mengalaminya sendiri.

Wanita mahal harganya. Itulah bagian dari kebudayaan Afghanistan dimana wanita sangat sulit didapatkan karena seorang laki laki harus membayar sangat mahal hanya untuk mendapatkan seorang wanita. Burqa adalah dunia kecil yang membatasi wanita dengan dunia luar. Burqa membungkus mereka untuk memberikan keamanan. Juga, kemanapun wanita pergi, mereka akan selalu ditemani oleh makhramnya (keluarga).  Burqa adalah representasi dari budaya gurun. Salah jika seorang ibu negara dari sebuah negara adidaya mengatakan bahwa burqa adalah simbol keterkungkungan wanita dari dunia dan mereka harus diselamatkan. Jika ia hanya melihat dari sudut pandang barat, menurut saya pendapat orang tersebut salah besar. Burqa adalah budaya. Janganlah dilupakan bahwa budaya adalah bagian dari sebuah masyarakat yang hidup di dalamnya. Seseorang tidak akan bisa mengubah budaya tanpa persetujuan masyarakat di dalamnya.

Shamovar, kedai kecil layaknya burjo di Indonesia adalah tempat berteduh bagi setiap orang yang melintas di suatu daerah. Shamovar sudah seperti tempat persinggahan orang orang kemalaman yang menempuh perjalanan. Roti sepanjang setengah meter dan teh cukup menjadi pengganjal perut orang orang Afghan. Menu makan siang mereka adalah nasi berkubang minyak dengan potongan daging. Seperti tradisi minum kopi di Indonesia, orang Afghan sangat menyukai teh. Tidak akan ada hari tanpa sajian teh di rumah mereka.

Terperangkap dalam kekacauan yang disebabkan oleh perang, orang Afghan berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari tekanan tersebut. Salah satunya yaitu menjadi pelintas batas. Dengan dalih memperbaiki kehidupan mereka, para pelintas batas mencari pekerjaan di negara asing. Hanya saja mereka biasanya menjadi pekerja kasar seperti kuli. Negara tujuan mereka tentu saja negara tetangga seperti Iran dan Tajkistan, serta satu yang utama : Australia. Pemerintah negara tetangga pada awalnya dengan senang hati menerima pengungsi Afghan untuk datang ke negerinya. Akan tetapi pada akhirnya Iran merasa keberatan dengan banjirnya imigran yang dianggap membebani negara. Pembuatan visa ke Iran dipersulit sehingga menyebabkan sulitnya penduduk Afghanistan untuk bisa masuk ke Iran. Australia, negeri impian para pelintas batas ditempuh dengan menggunakan kapal selama berminggu minggu dengan ongkos sangat mahal. Itupun belum tentu nanti di Australia, mereka bisa mendapat pekerjaan yang layak. Sudah pasti ada kendala bahasa dan kemampuan yang mereka miliki tidak bisa menjamin mereka hidup layak di Australia. Tidak jarang kapal yang mereka tumpangi ditangkap oleh polisi air Indonesia atau yang paling parah, karam di lautan Indonesia.

Sama halnya dengan Indonesia, ada sebagian orang yang mengadu nasib ke negeri orang karena sulitnya hidup di negeri sendiri. bedanya adalah jika orang Afghan pergi karena kacaunya negeri mereka akibat perang, orang Indonesia pergi karena tawaran hasil pekerjaan yang lebih menggiurkan dibandingkan dengan bekerja di kota sendiri. Ada sekian ribu TKI yang pergi ke luar negeri untuk mengais rejeki, sebagian besar sebagai pekerja rumah tangga. Belum lagi perlakuan yang mereka terima. Ada majikan yang baik dan tidak jarang majikan yang jahat menyiksa mereka. kemudian menjadi pemberitaan adanya penyiksaan terhadap TKI Indonesia.

Saya menutup hari dengan sebuah perenungan. Dalam buku tersebut  Agustinus menjelaskan bahwa jika Indonesia menyebut tanah air untuk memanggil dirinya sendiri, maka orang Aghan menyebut diri mereka khaakyang artinya debu karena tanah gersang tandus di negeri mereka adalah tanah hidup mereka. Saya memandang ke jendela. Diluar sedang hujan debu yang menyesakkan nafas. Kota ini bagaikan kota mati karena selimut debu yang tebalnya bisa mencapai lima sentimeter benar benar menyelimuti seisi kota. Memang debu yang turun dari gunung adalah bencana tapi ada berkah di dalamnya. Debu vulkanik mengandung mineral yang luar biasa bisa membuat tanah menjadi subur. Debu apapun yang ada di negeri kita adalah debu dimana tumbuhan bisa hidup di atasnya. Tetapi tidak untuk debu di Afghanistan. Debu adalah penyelimut negeri dimana hidup mereka bergelut dengan medan yang berbatu batu, tandus dan tidak layak huni

Lewat buku ini, saya mendapatkan perspektif baru mengenai sebuah negara. Jika kita merasa Indonesia adalah negara yang kacau, bolehlah kita tengok negara negara di luar sana. Ada sebagian yang kacau karena perang. Dimana kebebasan, makanan dan pendidikan adalah hal yang sangat mahal dan dirindukan. Bagaimana rindang dan hijaunya pepohonan Indonesia tidak dimiliki oleh negara tersebut. Jika kita merasa bahwa negara ini kacau, mungkin memang benar. Tetapi tidak ada satupun negara yang tidak pernah mengalami kekacauan entah dari segi pemerintahan, sosial atau segi lainnya. Terlepas dari semua itu, negeri ini tetaplah negeri impian karena disinilah tanah air kita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline