Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Pemilih dalam Pemilukada Jakarta yang Cerdas

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1341889549851959957

[caption id="attachment_199748" align="aligncenter" width="620" caption="Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta berfoto bersama memperlihatkan nomor urut yang didapatkannya di acara penentuan dan penetapan nomor pasangan Cagub dan Cawagub Pilkada DKI Jakarta di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/5/2012). Nomor urut 1 adalah pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, 2 Hendardji-Ahmad Riza, 3 Joko Widodo-Basuki Purnama, 4 Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini, 5 Faisal Basri-Biem Benyamin, dan 6 Alex Noerdin-Nono Sampono./Admin (KOMPAS.com/MUNDRI WINANTO)"][/caption] Besok, tanggal 11 Juli 2012, adalah hari penentuan bagi para kandidat yang bertarung dalam Pemilukada Jakarta untuk periode 2012-2017. Benar, ada enam pasangan calon yang sudah bersusah payah mencari dukungan, simpati ataupun bahkan cacian dan makian dari para warga Jakarta ini. Ada 4 pasang calon yang berasal dari partai politik dan 2 pasang calon yang berasal dari kelompok independen. Ya, Pemilukada saat ini jauh lebih menarik ketimbang 5 tahun lalu. 5 tahun lalu, Pemilukada hanya diikuti dua pasang. Sebagian besar partai politik di Jakarta mendukung Fauzi Bowo dan hanya satu partai yaitu PKS yang mengusung Adang Daradjatun. Meski Fauzi Bowo memenangkan pertarungan, namun itu dengan susah payah karena perbedaan selisih suaranya tidaklah berbeda jauh. Dulu, pasangan dari PKS dianggap oleh pendukung Foke sebagai ancaman serius. Tapi kini berbeda. Foke menganggap ancaman serius bukanlah dari PKS, melainkan dari Jokowi yang didukung oleh PDIP. Meski berbagai survei terakhir tetap mengunggulkan Foke, namun Jokowi dan Hidayat menjadi ancaman serius untuk menggugurkan pilkada satu putaran. Itu sedikit analisa saya dari segi pertarungan politik. Sekarang kita beranjak kepada apa yang dijual oleh para calon kepada pemilih dan bagaimana menjadi pemilih yang cerdas untuk menentukan pilihan. Para ilmuwan politik dari barat sepakat bahwa telah ada pergeseran yang dramatis dari partai politik dan pemilu kita saat ini. Pergeseran yang dimaksud adalah partai politik tidak lagi merepresentasikan sebagai sebuah kekuatan yang memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok-kelompok di masyarakat. Namun mereka telah menjelma sebagai aktor yang berperan sebagai perantara yang sangat profesional untuk menjembatani antara kepentingan elite segelintir orang dengan kepentingan publik. Maka, disitulah masuk diskusi antara dua hal dalam keterkaitan partai politik dengan masyarakat: apakah keterkaitan itu berbasiskan hubungan klien atau berdasarkan program-program.Dan pada saat itulah tugas konsultan politik yang profesional bekerja untuk para kandidat. Namun sebagai pemilih kita pun juga harus mampu memperhatikan kedua hal itu. Yang dimaksud dengan hubungan klien adalah bagaimana partai dan politisi memaknai relasi yang terbangun dengan pemilih berdasarkan ikatan-ikatan kekeluargaan, basis ekonomi ataupun untung rugi yang akan didapat di kemudian hari. Sementara hubungan berbasiskan program karena partai ataupun politisi menawarkan berbagai alternatif kebijakan yang dilakukan apabila mereka berhasil memenangkan pemilu. Dalam konteks itu maka para konsultan politik yang dibayar profesional ini meramu, mengkaji dan mendesain agar para kandidatnya mampu memenangkan pertarungan dengan basis hubungan-hubungan yang disebutkan tadi. Bila dilihat dari hubungan klien saja misalkan, hampir seluruh kandidat memanfaatkan isu etnisitas sebagai representasi warga Betawi ataupun warga Jakarta sebagai jualannya. DI samping juga berbagai kelompok etnis ataupun kelompok agama dan sosial lainnya juga berusaha ditangkap oleh para kandidat dengan berbagai cara. Bahkan saling ejek dan mencerca di antara kandidat juga memanfaatkan isu-isu kedaerahan, ras dan sebagainya. Sementara, dilihat dari program kerja yang ingin ditawarkan, tentu semua kandidat juga merasa punya program andalan yang ingin dijual. Ada yang berani untuk mundur 3 tahun apabila programnya tidak jalan, ada yang selalu membawa kartu asuransi untuk menjual isu pendidikan dan kesehatan gratis, ada yang merasa bahwa programnya telah sukses dan dilanjutkan kembali, ada yang merasa sebagai pemimpin amanah dan anti korupsi dan sebagainya. Dan hal yang sama juga terjadi bahwa diantara calon pun saling berdebat tentang program yang ditawarkan. Lalu apa yang kita bisa lakukan untuk sedikit menganalisa kekuatan dan kelemahan calon sebelum memutuskan untuk memilih? Apakah hanya berbasikan hubungan klien atau jualan program? 1. Pastikan bahwa Anda sudah mengumpulkan informasi yang lengkap dan berimbang tentang profil serta program para calon. 2. Anda bisa mulai dengan membaca dan mendengar secara detail apa yang telah dicapai dan dilakukan oleh masing-masing kandidat terhadap masyarakat dan lingkungan. Pastikan Anda berimbang dalam membaca itu semua. 3. Dan sekarang saatnya Anda menilai berdasarkan program kerja dan penilaian personal serta karakter, mana kandidat yang paling layak Anda dukung. Pada saat yang bersamaan, Anda juga harus membuka mata dan telinga tentang banyak hal tentang para kandidat agar tidak ada penyesalan dalam memilih nanti. 4. Saya secara pribadi  berpendapat mulailah kita bijak untuk memilih berdasarkan kapasitas, kemampuan serta program yang ditawarkan. Bukanlah hal-hal yang bersifat personal, ikatan kekeluargaan dan priomordial lainnya agar kemajuan yang dicapai Jakarta tidak dibatasi oleh problem tersebut. Sekedar untuk menambah referensi, Anda bisa tengok hasil riset Puskapol UI di bawah:

1341924643678920122

Jadi, untuk warga Jakarta, silahkan saatnya Anda menentukan pilihan untuk Jakarta ke depan!



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline