Lihat ke Halaman Asli

Memimpikan Pengadilan Hubungan Industrial yang Cepat, Tepat, Adil dan Murah (1)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masihkah mimpi? Andai kini jadi kenyataan, betapa nasib buruh harusnya tidak seperti saat ini. Mimpi itu berawal pada tanggal 14 Januari 2004. Ketika itu para buruh/karyawan pasti bersukacita menyambut pengesahan Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) oleh PresidenRI Ibu Megawati Soekarnoputri. Tujuan utamanya dengan harapan adanya pengadilan khusus di bidang hubungan industrial yang prosesnya relatif cepat, tepat, adil dan murah terutama bagi buruh/karyawan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Buat rekan-rekan buruh/karyawan, selamat ya! Mulai tahun ini, Hari Buruh jadi hari libur nasional.

Nah, sudah sepuluh tahun berlalu, apakah kita masih harus terus bermimpi? Sampai kapan?

Saya ingin berbagi pengalaman pribadi ketika di-PHK. Berawal dari ketidakharmonisan hubungan kerja antara Perusahaan dengan saya sekitar bulan April 2012. Saat itu saya dikondisikan untuk di-PHK dengan kompensasi “ala kadarnya” alias di bawah ketentuan Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Saya karyawan tetap sejak tahun 2007 yang bekerja di PT Grahadhika Sarana Purnajati. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa klinik estetik dengan brand “Miracle Aesthetic Clinic”, berpusat di Surabaya dan memiliki beberapa cabang usaha.

Karena ketidakharmonisan itu, tanggal 3 Juli 2012 Perusahaan memanggil saya untuk menyelesaikan hubungan kerja. Pada saat itu saya sudah didemosi. Ditugaskan ke Jakarta jauh dari keluarga di Surabaya. Dan sudah di-“non-job”-kan selama beberapa bulan. Saya dihadapkan dengan Pengacara/Kuasa Hukum Perusahaan. Bayangkan, pertemuan ituberlangsung hanya sekitar lima menit dan saat itu juga saya diminta langsung memutuskan, menerima PHK “ala kadarnya” yang dijanjikan akan dibayar minggu depannya atau ditempatkan di ruang security.

Cara seperti ini jelas sangat janggal sekali. Selama bekerja lima tahun sebagai Manager Personalia, saya selalu menyelesaikan perselisihan dengan buruh/karyawan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ya jelas saja saya menolak dan harus mempersiapkan mental untuk ditempatkan di ruang security, entah sampai kapan.

Saya tau saya diperlakukan tidak adil. Tidak manusiawi. Dan saya harus berani fight, melawan ketidakadilan dan kesewenangan yang dilakukan Perusahaan. Tentu dengan memegang mimpi masih adanya “pengadilan khusus di bidang hubungan industrial yang prosesnya relatif cepat, tepat, adil dan murah”.

Hari itu juga Pengacara Perusahaan mencatatkan perselisihan PHK kepada Dinas Tenaga Kerja Surabaya (Disnaker). Sebetulnya UU PPHI masih memberikan waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Proses di atas disebut Perundingan Bipartit (dua pihak).

Ohya rekan-rekan semua, Pemerintah sudah menyediakan lembaga yang akan membantu bila kita bermasalah dengan Perusahaan yaitu Disnaker. Berhubung Perundingan Bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka permasalahan dilimpahkan ke Disnaker (Tripartit).

Singkat kata, proses di Disnaker kala itu berjalan 3 bulan lebih. Menurut UU PPHI, hanya perlu waktu 10 hari kerja. Jika kita kurang memahami proses PHK, kita bisa berkonsultasi dengan pihak Disnaker. Jadi selama proses di Disnaker, saya dan Perusahaan dipertemukan melalui mediasi yang dilakukan sebanyak tiga kali yaitu tanggal 7 Agustus 2012, 4 September 2012 dan 28 September 2012.

Berapa biayanya? Rekan – rekan semua, selama di Disnaker, saya tidak perlu membayar biaya sepeser pun! Di bawah pimpinan Walikota Ibu Tri Risma, Disnaker Surabaya komit menciptakan instansi pemerintah yang bersih.

Lalu apa hasilnya selama 3 bulan lebih di Disnaker?

Memang kalau orang merasa di pihak yang benar, jangan pernah gentar. Percayalah Gusti Ora Sare.

Keputusan Disnaker intinya adalah mengharuskan Perusahaan mempekerjakan saya kembali secara layak. Dan bila Perusahaan tidak bersedia, maka Perusahaan wajib membayar hak-hak saya seperti pesangon, seluruh upah yang belum/tidak dibayarkannya sejak Juli 2012 dan upah selama tidak dipekerjakan dalam proses PHK.

Saya pribadi sebetulnya berprinsip bahwa setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan sehingga masing-masing pihak sama-sama diuntungkan. Akan tetapi karena perlakuan Perusahaan kepada saya sangat-sangat jauh dari rasa kekeluargaan dan manusiawi, maka ke mana pun akan saya hadapi! Mantap!

Dan sesuai dugaan, ya tentu saja Perusahaan menolak Anjuran Disnaker. Perusahaan memilih melanjutkan proses penyelesaian perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya (“PHI”).

Tanggal 1 Desember 2012 Perusahaan mendaftarkan gugatan di PHI. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama perselisihan PHK dengan menggunakan Hukum Acara Perdata.

PHI mengirim Relaas Panggilan tanggal 11 Januari 2013 (Jumat) untuk sidang perdana tanggal 14 Januari 2013 (Senin). Wow! Dalam tempo 1 hari kerja harus sudah siap untuk sidang? Ya ampun! Andai saya tidak terima surat dari PHI itu, bisa-bisa sidang diputus tanpa kehadiran saya dong? Sekali lagi, Gusti Ora Sare!

Meskipun sidang seringkali jam karet, tetapitidak pernah ada penundaan hingga pengambilan putusan, semua sesuai Pasal 103 “UU PHI” Pasal 103 yaitu 50 (limapuluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Sampai disini sepertinya mimpi “pengadilan yang Cepat, Tepat, Adil dan Murah” hampir menjadi kenyataan. Yes, yes, yes!

Biayanya? Karena nilai gugatan di bawah Rp 150.000.000,- (seratus limapuluh juta) rupiah, maka tidak ada biaya satu rupiah pun yang harus saya tanggung. Alias gratis, tis, tis…!!!

Akhirnya setelah kurang lebih 2,5 bulan, Majelis Hakim PHI mengetok palu tepatnya tanggal 13 Maret 2013 (No. 132/G/2012/PHI.Sby) yang berkesimpulan bahwa saya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran apapun atas peraturan perusahaan sebagaimana alasan PHK yang diajukan oleh Perusahaan (Penggugat). Untuk itu Perusahaan dihukum untuk membayar kompensasi pesangon dan lain-lain hal terkait dengan PHK kepada saya secara tunai dan sekaligus sesuai undang-undang yang berlaku. Puji Tuhan…

Apakah sampai disini mimpi yang saya perjuangkan ? Ah.. rekan-rekan semua, perjalanan saya ternyata masih panjaaanggg…lagi-lagi Perusahaan menolak hasil ptusan PHI. Tanggal 27 Maret 2013, Perusahaan mengajukan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung.

Keajaiban selalu berpihak kepada orang benar meski ia tidak punya apa-apa selain keyakinan bahwa Tuhan pasti mendampinginya di saat ia terjepit.

Putusan PHI akan berkekuatan hukum tetap (inkracht) jika tidak diajukan Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari kerja. Ternyata berdasarkan Penetapan PHI tanggal 15 April 2013, Permohonan Kasasi Perusahaan dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat Formil (TMS). Dengan demikian Putusan PHI tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht). Artinya putusan PHI yang memenangkan sayalah yang menjadi acuan eksekusi.

Saya bersujud dan berterima kasih kepada Tuhan, keadilan ditegakkan, kebenaran telah nampak dan harkat martabat serta nama baik saya terbukti benar di PHI. Maka sesuai ketentuan, saya mengajukan eksekusi hasil putusan PHI.

Hadeh! Ternyata Perusahaan masih berupaya dengan segala kekuatan yang dimiliki, bagaimana caranya tidak bayar pesangon. Akhirnya cara yang ditempuh adalah mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Jurus apalagi ini? Padahal permohonan PK tidak menunda eksekusi. Entah apa yang ada dipikiran pejabat PHI sehingga PHI lebih memilih menunda eksekusi sesuai keinginan Perusahaan.

Kayaknya nggak seru nih kalau ceritanya “the end”. Lanjut lagiii…! Apanya yang lanjut? ‘Kan UU PPHI membatasi penyelesaian PHK melalui PHI tanpa upaya banding ke Pengadilan Tinggi tetapi langsung Kasasi ke Mahkamah Agung? Lhoh, koq bahas sampai proses Peninjauan Kembali? Ya teorinya memang begitu tetapi dalam prakteknya, karena menggunakan Hukum Acara Perdata, konon upaya permohonan Peninjauan Kembali (“PK”) masih dimungkinkan sehingga Perusahaan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (“PK”)pada tanggal 3 Juni 2013 dengan Relaas Pemberitahuan Pernyataan Peninjauan Kembali yang saya terima tanggal 24 Juni 2013.

Rekan-rekan semua, ini pengalaman berharga yang saya alami. Perjuangan selama 1 tahun lebih mencari keadilan sampai di Mahkamah Agung ternyata tidak mudah dituntaskan semudah yang saya impikan. Mimpi pengadilan yang cepat, tepat, adil dan murah bagi buruh/karyawan? Jauuuhhh…!!! Namanya juga masih mimpiii…!

Tunggu, ya…Don’tgo anywhere, I'll be right back, tentu dengan pengalaman yang lebih seru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline