Lihat ke Halaman Asli

Mimpikah Jilid Dua (Memimpikan Pengadilan Hubungan Industrial Yang Cepat, Tepat, Adil dan Murah)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 1 tahun lebih saya berjuang mencari keadilan, baca - http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/memimpikan-pengadilan-hubungan-industrial-yang-cepat-tepat-adil-dan-murah-1-652970.html- meskipun Putusan sudah final hingga MA, bahwa saya menang di atas kertas baik di PHI maupun Kasasi, ternyata belum tentu final “nompo duit” yang jadi hak saya semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan justru dimulai dalam proses eksekusi.

Menurut Pasal 66 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang sudah inkracht sehingga dapat segera dilaksanakan eksekusi.

Eits, jangan bersenang hati dulu ya…!

Adem ayem tentrem, sama sekali tidak pernah ada tanda-tanda itikad baik Perusahaan PT Grahadhika Sarana Purnajati (“Miracle Aesthetic Clinic”) untuk membayar seluruh kewajibannya kepada saya sesuai putusan PHI tanggal 13 Maret 2013. Untuk itu saya mengajukan Permohonan Sita Eksekusi pada tanggal 1 Juli 2013. Proses selanjutnya, saya diharuskan membayar Panjar Eksekusi No. 30/Eks/2013/PHI.Sby. Tanggal 22 Agustus 2013 saya transfer sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) ke Rekening Bank BRI No. a/c. 02111 – 01 – 000615 – 30 – 9 atas nama Pengadilan Negeri Surabaya.

Lho! Katanya gratis, lhah koq malah saya yang menang telak, saya yang sudah tidak berpenghasilan lebih daripada satu tahun, yang malah harus bayar biaya eksekusi? Konon karena Putusan PHI yang mewajibkan Perusahaan membayar kompensasi pesangon dan lain-lain kepada saya nilainya lebih daripada Rp 150.000.000,-maka biaya eksekusi dibebankan sepenuhnya kepada saya sebagai Pemohon Eksekusi. Begono…

Ora mudeng? Maksudnya, jika Anda jadi pengusaha, gugatlah buruh/karyawan, kondisikan nilai kompensasi yang akan Anda bayar tertera di bawah Rp 150.000.000,- sehingga Anda yang berinisiatif mem-PHK buruh/karyawan bisa bebas biaya selama proses di PHI. Lalu terus meneruslah menunda pembayaran, biarkan buruh/karyawan Anda yang kelak harus bayar biaya eksekusinya. “Ngono yo ngono tapi yo ojo ngono”, rek! Barangsiapa menunda pembayaran kepada “wong cilik” padahal ia mampu, maka ia menunda aliran rejeki bagi dirinya sendiri. Betul? Kalau tidak percaya, periksalah pembukuan dan laporan laba/ruginya, pasti pelan2 buntung. Mengapa? Karena rekan-rekan kantor Anda pun pasti nuraninya menolak diperlakukan seperti saya dan akibatnya motivasi kerja menurun.

Rekan-rekan, setelah saya bayar Panjar Eksekusi, terbitlah surat yang namanya Relaas Aanmaning tertanggal 5 September 2013 alias surat tagihan. Pertemuan antara Perusahaan dengan sayayang saya wakilkan kepada Pengacara, diadakan tanggal 11 September 2013. Hasilnya sangat mengecewakan karena Perusahaansaat itu tetap belum / tidak bersedia melaksanakan kewajibannya kepada sayadengan alasan menunggu hasil permohonan “PK” yang teregistrasi tertanggal 6 September 2013 dengan Nomor Register 117 PK/Pdt.Sus-PHI/2013.

Angin sejuk senantiasa berhembus kepada orang benar, sekali lagi, Puji Tuhan! Gusti Ora Sare! Berdasarkan link ( http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=7830e4d0-2985-1985-8d66-31323034 ), Permohonan PK Perusahaan DITOLAK dengan tanggal putus tanggal 26 Nopember 2013. Hal ini sesuai dengan Surat Panitera MA tertanggal 18 Maret 2014 yang baru saya terima tanggal 22 April 2014.

Mantap! Menang di PHI, di Kasasi, di PK, rasanya semriwing. Sejuk di mata, sejuk di hati.

Tapi napas kesabaran masih harus berhembus panjang sekali. Berkas Putusan PK hingga artikel ini dikirim (lima bulan lebih), belum / tidak saya terima. Pun proses eksekusi yang telah dimulai sejak delapan bulan lalu, belum / tidak ada titik terangnya juga. Itu mengapa saking paranoidnya, saya intip link kepaniteraan MA tersebut hampir setiap hari. Kuatir bagaimana kalau sewaktu-waktu putusan PK di link itu di-update lagi lalu berubah jadi DITERIMA karena Surat Panitera MA tertanggal 18 Maret 2014 pun tidak mencantumkan hasil putusannya dan kapan Relaas Pemberitahuan isi Putusan PK itu dapat saya terima.

Upaya-upaya apa lagi yang saya tempuh agar eksekusi segera dilakukan PHI?

Ya dengan kirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI, Ketua Pengadilan Negeri di Surabaya tertanggal 12 Agustus 2013, serta Ketua Komisi Yudisial RI pada tanggal 9 September 2013 dan 27 Januari 2014.

Tanggapan saya terima dengan Surat Mahkamah Agung RI Badan Pengawasan No. tertanggal 30 Januari 2014 (surat baru sayaterima tanggal 11 April 2014 – jadi pengen tahu, pakai jasa ekspedisi apa ya, koq setiap korespondensi lama bener nyampainya?) dan Surat PHI tertanggal 22 April 2014 yang intinya membenarkan bahwa berdasarkan Aanmaning pada tanggal 11 September 2013, pengacara saya selaku Pemohon Eksekusi meminta agar eksekusi tetap dilanjutkan. Tidak dicantumkan kapan PHI akan melakukan eksekusi. Ngambang. Entah di mana kendalanya. Tidak ada kepastian hukum bagi saya.

Nampaknya berbekal pendidikan Sarjana Hukum dan Magister Ilmu Hukum serta pengalaman kerja di bidang ketenagakerjaan selama hampir duapuluh tahun belumlah cukup mudah bagi saya untuk mendapatkan hak-hak saya di negeri ini. Jalan masih sangat panjang. Masih mimpi. Mimpi buruk.

Bagaimana halnya jika rekan-rekan buruh/karyawan lainnya tidak cukup paham tentang hukum? Kalau domisilinya di daerah yang tidak ada PHI-nya? Kalau tidak punya cukup uang untuk membayar Panjar Eksekusi? Kalau kemudian Perusahaan mengalihkan aset-asetnya? Tentu perlu waktu, biaya, dan kesabaran ekstra untuk memperjuangkan nasibnya sendiri.

Saya percaya masih ada keadilan dan kebenaran untuk saya di bumi ini. Pun meski bumi berguncang, saya tetap yakin Gusti Ora Sare. Pun saya juga yakin media massa dapat turut menguatkan saya, dapat turut memampukan saya dalam memperjuangkan hak-hak saya dan rekan-rekan kaum buruh/karyawan lainnya.

Lalu, selama hampir dua tahun ga gajian, saya dapat makan tiap hari dari mana?

Dari usaha kecil-kecilan yang penting halal.

Tuhan pun sudah menyediakan makanan bagi burung pipit yang mau keluar dari sarangnya.

Jangan pernah mengandalkan hidup hanya dari satu sumber mata pencaharian.

Nitip pesan untuk Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, meskipun saya bukan anggota atau pengurus Serikat Pekerja,

untuk Menteri Tenaga Kerja dan Presiden periode berikutnya sebagai lembaga eksekutif,

untuk para anggota DPR periode berikutnya sebagai lembaga legislatif,

untuk jajaran penegak hukum sebagai lembaga yudikatif,

tolong kami agar mimpi memiliki Pengadilan Hubungan Industrial Yang Cepat, Tepat, Adil dan Murah jadi kenyataan.Majulah Indonesia-ku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline