Anda yang sudah terbiasa bekerja atau berhubungan kerja di/dengan media pasti bisa membedakan mana wartawan dan ‘wartawan’. Dulu dikenal dengan julukan ‘wartawan bodreks’.
Berbagi pengalaman saya ketika bekerja di perusahaan go public sekitar tahun 1998 – 2003 di Jakarta, di mana setiap tahun perusahaan saya bekerja harus mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Umumnya di bulan Juni. Kadangkala juga mengadakan RUPS Luar Biasa atau Paparan Publik (Public Expose).
Di samping menyampaikan undangan kepada seluruh pemegang saham, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh masyarakat, saya juga harus memastikan undangan telah diterima oleh berbagai perusahaan sekuritas dan perusahaan media pilihan.
Mengapa harus perusahaan media pilihan? Karena RUPS umumnya dimuat dalam media bisnis dan ekonomi, bukan tabloid yang lebih banyak mengupas berita tentang artis atau ‘koran lampu merah’ yang heboh dengan berita kriminal.
Hal menarik saat itu, umumnya perusahaan media yang diundang secara resmi akan menugaskan 1-2 orang wartawan dan kameramen untuk media televisi. Hampir pasti mereka akan membawa surat undangan resmi dari kami dan datang tepat waktu, bahkan beberapa saat sebelum acara dimulai.
Hal inilah yang membedakan mana yang wartawan dan ‘wartawan’. ‘wartawan’ umumnya datang terlambat, bisa di tengah acara atau beberapa detik sebelum acara berakhir. Ya…numpang makan atau minum atau meminta paket souvenir yang umumnya dikemas satu tas bersama buku laporan keuangan perusahaan kami. Seringkali juga tanya ‘uang rokok’. Tahu ‘kan maksudnya?
Mengingat perusahaan kami dulu selalu mengadakan acara di hotel standar bintang 5, dengan tarif konsumsi lumayan mahal maka untuk penghematan, kami tetap menyediakan konsumsi bagi ‘wartawan’ ini, yang jumlahnya bisa 4x lebih banyak daripada wartawan dengan undangan resmi, berupa dos kue dan air kemasan gelas saja. Pun ditempatkan di ruang tertentu, umumnya sebelah ruang acara karena sebetulnya mereka juga kurang concern untuk meliput berita.
Nah, kalau seringkali disebut, Jokowi seneng banget dibuntuti wartawan agar semua kegiatannya diekspose demi pencitraan, sekarang pertanyaannya, apa ya mau-maunya wartawan ini sendiri untuk ‘nyanggong’ terus ke manapun Jokowi pergi, jika tidak ditugaskan secara resmi oleh media perusahaannya bekerja?
Kalau ‘wartawan’, saya rasa ogah ah buntuti sumber berita yang ga ngasi ‘uang rokok’. Ga cakep, ga wangi seperti artis. Ngeliput dari pagi hari beliau berangkat nggowes ke kantor, lalu blusukan dan masih juga periksa pintu air di malam hari, hmm…capeknyaaa…
Anda mungkin masih ingat di awal kepemimpinan beliau jadi gubernur DKI. Betapa beliau memperhatikan kondisi wartawan yang berjam-jam harus mengikutinya dan menanyakan apakah mereka sudah makan? Meski kadangkala jahil ngerjain wartawan dengan mengacak arah jalan mobilnya.
Saya rasa karena beliau nguwongke uwong (memanusiakan manusia) itulah para kuli tinta itu happy-happy saja meliput segala aktifitas Jokowi. Pasti bukan karena cari gantengnya. Kalau mau yang ganteng, liputlah Dude Herlino ya…hehe… beliau juga ga ‘jual mahal’. Ga pelit berita, semua pertanyaan pasti dijawab dan pasti bisa jadi berita. Bisa ‘menjual’.
Sebaliknya, apakah Jokowi butuh dieksposes? Secara kebutuhan pribadi, saya rasa nggak-lah. Diawasi terus itu ndak enak lho! Hampir tidak ada ruang privacy kecuali di kamar mandi.
Menurut saya Jokowi itu butuh dukungan media agar media juga membantu beliau mengawasi kinerja segenap bawahannya. Mana yang bekerja baik mana yang tidak. Karena beliau tidak punya pasukan. Karena beliau orang baru dan pendatang di Jakarta. Dan beliau bukan seperti Pak Dahlan Iskan atau Surya Paloh yang punya media.
Pejabat yang jujur menjadikan wartawan sebagai teman. Pejabat yang tidak jujur , uuhhh! Jauh-jauh deh dari wartawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H