Lihat ke Halaman Asli

Manajemen Mudik

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14062977861630299864

[caption id="attachment_349720" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - suasana mudik lebaran 2013 (Kompas-Heru Sri Kumoro)"][/caption]

Saya perantau di Jakarta selama 10 tahun lebih, mulai dari tahun 1993 – 2003. Dan sekarang sudah 10 tahun lebih juga saya berlalu pergi dari Jakarta, koq ya problem mudik masih setia, tetap dengan suara yang kompak sama bunyinya setiap tahun, setiap lebaran. Macet. Antrian panjang. Kecelakaan. Ya bosan, ya prihatin, ya mikir a la Cak Lontong. Apa ya ndak ada toh kepala daerah atau menteri yang bisa menyusun Manajemen Mudik, gitu?

Kalau Jokowi-JK sekarang katanya sudah menyusun daftar dan mencari rekam jejak para calon menterinya, saya berharap menteri khususnya bidang permudikan (perhubungan, PU, dll.) memang benar-benar profesional di bidangnya. Bukan titipan parpol atau asal tunjuk supaya ada solusinya.

Tanpa bermaksud menyalahkan para menteri atau presiden masa terdahulu, saya ingin mengingat kembali jaman saya mudik tiap tahun karena harus ‘setor muka’ sama almarhumah nenek saya yang muslim.

Pertama mudik, ternyata menteri perhubungan saya namanya Azwar Anas (1988-1993). Beliau lulusan teknik kimia ITB. Lalu digantikan oleh Haryanto Dhanutirto (1993-1998), lulusan farmasi ITB tahun 1966 dan doktor kimia dari Universitas Montpellier Perancis tahun 1981.

Apakah ‘nyambung’ dengan pendidikan dan pengalaman kerjanya? Entahlah, Presiden Soeharto kala itu pasti memiliki pertimbangan tersendiri untuk mengangkat beliau sebagai menhub.

Yang sangat saya ingat jaman sengsara dulu pada lebaran tahun 1996. Tunggu bus sampai jongkok-jongkok (kurang tempat duduk) di Terminal Pulogadung sepanjang sore untuk berangkat dengan bus malam keMalang ternyata bus kosong, belum datang dari arah timur Jawa.

Keesokan harinya saya ke Terminal Pulogadung lagi dan harus tunggu sekitar 8 jam baru terangkut bus seadanya, asal jurusan ke timur Jawa. Penderitaan bukan hanya sampai disitu. Di bus Jakarta-Malang, waktu tempuh yang seharusnya 17 jam jadi 36 jam. Lapar, haus, lelah, sudah pasti. Bus sama sekali tidak jalan. Stagnan. Akhirnya para penumpang bus turun minta sekedar makan, minum dan mandi di sumur-sumur warga. Memelas.com deh!

Jangan bayangkan seperti sekarang, pompa bensin dengan toilet standar PASTI PAS. Kadang ada pijat refleksi segala. Atau ada minimart 24 jam sepanjang jalan sekian kilometer, bisa beli minuman dingin. Atau tempat leyeh-leyeh. Hmm…bus jadoel, kalau AC nyala sepanjang jalan ya mesinnya gampang panas. Gerah.

Nah pada jaman reformasi, Menhub tahun 1998-1999 adalah Giri Suseno Hadihardjono yang memang berkarier di Dirlantas. Sepertinya (ingat-ingat lupa tahun berapa ya?) sudah ada KA Gajayana jurusan Jakarta-Malang dan berlaku sistem toeslag, saya tidak kena macet karena berangkat H-7, tarif sama. Setelah itu tarif transportasi lebih mahal sekian persen.

Tapi beliau tidak lama menjabat. Ada pergantian presiden dan ubah susunan kabinet. Digantikan oleh Agum Gumelar, lulusan Akmil tahun 1969. Nyambung gak ya dengan pendidikan dan rekam jejaknya? Sekali lagi, presiden punya hak prerogatif untuk menunjuknya. Tidak cukup ingat tentang beliau di bidang transportasi ini tapi nampaknya lebih populer ketika ada masalah di PSSI dan mau mantu Taufik Hidayat hehe…

Tak lama kemudian saya sudah “naik pangkat” cukup uang untuk beli tiket pesawat terbang, tapi sistemnya juga belum seperti sekarang ini yang bisa online beli jauh-jauh hari dengan harga lebih murah. Dulu saya harus beli di biro jasa tour and travel. Pernah naik Star Air, Bouraq, Indonesian Airlines yang sudah tinggal nama.

Tahun-tahun setelahnya, saya sudah tidak di Jakarta lagi dan tidak perlu persiapan mudik yang kadang masih saya rindukan ke-ribet-annya, seperti hunting barang-barang yang ada di Jakarta dan tidak ada di ‘kampung’.

Namun saya tetap merasa ‘miris’ setiap kali terjadi kecelakaan pesawat terbang seperti jaman Hatta Rajasa (2004-2007). Lion Air, Mandala Airlines, Adam Air, dan Garuda Indonesia. Berharap hal ini tidak akan pernah terjadi lagi.

Hatta Rajasa, insinyur teknik perminyakan ITB tahun 1973. Entah mengapa juga alasan presiden menunjuknya sebagai menhub meski hanya beberapa tahun yang kemudian digantikan oleh Jusman Syafii Djamal, Komisaris Utama Telkom Indonesia hingga akhir kabinet periode kepemimpinan SBY tahun 2009, lulusan ITB tahun 1973 juga tapi jurusan teknik penerbangan/aeronautika.

Pada masa pemerintahan SBY saat ini (2009-2014), menhub dijabat oleh Freddy Numberi lalu digantikan oleh E.E. Mangindaan.

Nah, sebetulnya problem mudik, penyakit menahun atau penyakit tahunan? Ada solusinya nggak sih?

Menurut saya beberapa solusinya :

1.Harus ada kesinambungan antara pendidikan dan pengalaman kerja (kapabilitas)

Mengapa lulusan STTD (Sekolah Tinggi Transportasi Darat) di bawah kementerian perhubungan yang berdiri sejak tahun 1951 (sekarang di Bekasi) itu tidak dilirik sebagai wadah untuk menggodok pemimpin bidang per-transportasi-an di masa mendatang?

ITS Surabaya juga punya jurusan Transportasi Laut, tentu sangat dibutuhkan jika JKW-JK akan membangun tol laut.

Pun ada lembaga pendidikan untuk Transportasi Udara di Solo, harus dimaksimalkan.

2.Menteri yang ajeg

Meski memenuhi butir 1) atau dari profesional maupun parpol, harus dipastikan dapat menyelesaikan masa 5 tahun kepemimpinannya dan tidak berganti-ganti dengan alasan tidak mampu atau lebih sibuk dengan urusan di luar tugas sebagai menteri agar segala rencana dan target kerja dapat segera terselesaikan

3.Menhub harus bisa bekerjasama dan didukung men-PU serta kepala daerah terkait agar jalan raya tidak menyengsarakan rakyat khususnya setiap menjelang mudik lebaran; baru ditambal sulam, baru uji coba, baru mau akan selesai, baru rusak, baru ambruk, baru kena banjir, dll. Basi ah!

Atau berdalih, yang rusak itu jalan propinsi, bukan kewajiban pemkot apalagi RT/RW-nya.

4.Bagian anggaran, harus dipastikan hasil kerjanya sesuai dengan kontrak kerjanya.

Selamat mudik, semoga selamat sampai tujuan…jangan lupa bawa oleh-oleh! Hehe…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline