Lihat ke Halaman Asli

Jadi Perempuan Jangan Manja!

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Balita diculik, diperkosa, dianiaya, dibunuh…yang saya tanyakan, bukan mengapa mereka men-jahat-i anak itu? Tapi saya tanya, ke mana ibu kandungnya?

Ketika ke mall, saya sering sebel lihat kaum saya sendiri. Maapp yee…

Dandanan boleh cantik, tas dan sepatu serta beraneka asesoris kalung, gelang, anting matching deh. Di sebelah kanannya ada baby sitter gendong anak atau dorong stroller, di sebelah kiri ada pembantu bawa tas/keranjang belanjaan.

Kamu sendiri, hai nyonya besar? Gadget di tangan kanan, tas besar di tangan kiri yang kudu ditenteng biar merk-nya kelihatan sama orang lain. Maapp yee...lagi kumat siriknya nih.

Hei, tahukah kamu? Anakmu lebih butuh kamu. Pelukan tanganmu. Bukan baby sitter, pembantu, atau minta diantar dengan mobil mewah!

Lalu bagaimana keseharianmu?

Di rumahmu pasti ada dispenser air mineral yang siap tekan tombol, keluar air minum panas/dingin/sedang. Kelamaan kalo mesti ngrebus air dulu. Ada rice cooker, tinggal takaran beras dan air yang itungannya sudah paten dan klik tombol cook. Ga perlu "ngaru" lalu pindah ke "dandang". Ada microwave untuk menghangatkan makanan. Dan aneka alat elektronik yang mempermudah pekerjaan rumah tangga. Tapiii…kamu beli semuanya untuk mempermudah pekerjaan PRT-mu. Kamu? Ah boro-boro mau pakai, kalau pembantu mudik lebaran ya nginap di hotel aja dong? Gitu aja repot.

Selama suami masih bisa bayar pembantu, baby sitter, supaya kalian bisa berlama-lama dan berkali-kali ke salon atau aesthetic clinic untuk berbagai urusan seperti menicure-pedicure-creambath-facial-body massage-whitening dll atau chatting, arisan, hangout dengan teman-temanmu atau bekerja di luar rumah dengan alasan berkarier (padahal karier juga segitu-gitu aja karena di kantor cuma cari temen ngobrol), so what! Anak ‘kan sudah ada yang urus! Tar juga gede sendiri...yang penting cukup beli'in mainan biar dia diem, beli junk food serba praktis deh! Telpon dan dateng deh pesenannya!

Naaahhh…masalahnya, siapa orang yang urus anakmu itu? Jujur, sayang, aman dan nyaman buat anakmu nggak? Ketika seringkali kamu berkata, “anak jaman sekarang beda dengan jaman kita dulu”.

Bu ibu, emansipasi wanita itu boleh. Ada banyak kesetaraan gender. Ada banyak fasilitas dan kemudahan bagi wanita. Lahan parkir khusus pengemudi wanita pun disediakan. Tapi jangan lupa dong dengan kewajiban utama sebagai perempuan yang juga istri dan ibu.

Jadi ibu itu anugerah. Kamu dititipi Tuhan bukan hanya untuk mengandungnya tapi membesarkannya, mendidiknya, dan mencurahinya dengan kasih sayang. Agar ia kelak pun tetap cinta kepadamu saat kamu renta dan tidak menyerahkannya kepada pembantu.

Terima kasih kepada almarhumah ibu saya yang membesarkan dan mendidik ke-6 putra putrinya tanpa pembantu dan tetap bisa mencari nafkah untuk keluarga. Meski hanya 3 yang sarjana, hanya beberapa juara kelas tapi tidak ada yang sampai tinggal kelas atau dipanggil guru BP karena bandel. (I miss u, mom!)

Ibu saya, ibu kamu, ibu kita itu wanita hebat! Dengan kompor arang atau minyah tanah yang untuk menyalakannya saja lamaaa banget, dengan banyak anak pula, mereka masih bisa membantu suami cari nafkah dengan menjahit atau membuat kue, terima pesanan masakan tradisional seperti tumpeng yang penting tidak meninggalkan anak-anaknya di rumah.

Lalu sudah tepatkah kalau kita mampu menggaji pembantu dan baby sitter dengan alasan cari tambahan nafkah (maaf pengecualian untuk single parent) di luar rumah. Hitunglah nafkah yang kamu terima. Dan yang suami terima. Worth it ga sih, kebayar nyeselnya ga sih, kalau anak ditinggal kerja lalu “celaka” seperti berita kasus berderai-derainya airmata ibu di sebuah stasiun TV yang anaknya dianiaya lalu dibunuh pembantunya? Ada banyak koq peluang kerja tanpa harus meninggalkan rumah/anak berlama-lama.

Gimana juga kalau penghasilanmu dan suami lebih dari cukup untuk happy-happy liburan ke luar negeri tapi anak tak punya ikatan psikologis dengan ibunya? Yang ketika beranjak remaja, kita keluhkan “huh, kamu memang susah diatur! Selalu bantah!” atau mereka lebih suka curhat dengan teman-temannya yang belum tentu “anak baik-baik”. Atau justru melaporkanmu ke polisi? Amit-amit jabang bayiii…apa salah bunda mengandung, salah bapak buka saruungg...

Atau seperti teman saya, terpaksa berhenti bekerja ketika diberitahu gurunya bahwa anaknya menderita autis? Yang kemudian harus sekolah di sekolah khusus dengan biaya aduhai jauh di atas biaya sekolah umum biasa.

Berpulang dari semua kasus anak yang tak berdosa, sangat mengiris jiwa kewanitaan saya. Saya sangat menghargai adanya perbedaan kondisi setiap rumah tangga dengan berbagai problematikanya. Saya hanya ingin agar tidak akan pernah terjadi lagi kasus anak harus jadi korban kebengisan orang-orang di sekitarnya ketika ibunya sendiri tidak berada di sampingnya justru ketika ia sangat membutuhkan perlindungannya.

Setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline