Menyambung artikel saya tentang Upah Minimum (1), sebetulnya istilah dan aturan ini bukanlah hal baru. Melalui beraneka macam istilah dan parameter, kesimpulannya ya upah yang serendah-rendahnya diterima oleh buruh/karyawan akan ditetapkan oleh pemerintah. Hanya saja dengan beraneka hitungan pula sehingga upah minimum ini seringkali jadi hitungan ‘take home pay’ oleh perusahaan meskipun ada banyak perusahaan yang mampu membayar lebih daripada sekedar upah minimum.
Penentuan angka minimum awalnya didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM) dengan disertakannya ahli gizi yang kemudian bergeser pada komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dengan melalui survey seiring dengan dibentuknya dewan pengupahan. Memang belum akan menyempurnakan batasan ‘berapa sih pantasnya’ upah minimum itu? Mengingat perkembangan jaman dan teknologi.
Coba kita perhatikan. Tentang pola makan masyarakat saat ini juga sudah bergeser. Makan siang tidak harus dengan nasi. Kadang ada perusahaan yang menyediakan makanan catering juga tidak disentuh buruh/karyawan dengan berbagai macam alasan. Padahal kecukupan gizinya sudah dihitung. Demikian variasi menunya. Kadang mereka pilih beli sendiri junkfood (sekedar cilok atau burger) di area tempat kerja yang jelas secara gizi dan kalori tidak mudah terukur dan manfaatnya bagi pemenuhan tenaga untuk bekerja. Ada juga yang memilih merokok saja daripada makan.
Belum lagi soal minuman. Cukupkah dengan air minum mineral atau isi ulang yang disediakan perusahaan? Perusahaan hanya menanggung secukupnya ketika buruh/karyawan bekerja. Selebihnya jadi tanggungan buruh/karyawan tersebut. Tahukah Anda, buruh/karyawan sangat suka minum teh dan kopi. Ya masih lumayanlah harganya daripada minum air soda atau minuman berenergi yang tidak menyehatkan dan lebih mahal harganya.
Itu baru soal kebutuhan pokok makan/minum. Bagaimana halnya dengan kebutuhan akan sandang/pakaian? Ada aneka macam pula, branded atau menurut standar kebutuhan dan kemampuan. Ketika smartphone android adalah juga suatu kebutuhan penampilan/fashion, ayo kita hitung, berapa buruh/karyawan yang saat ini tidak membawa dan menggunakan HP ketika bekerja? Untuk menghubungi tukang sayur langganan saja saya menghubungi nomer HP-nya koq. Itu yang bukan pekerja formal dan tidak bergaji jutaan, lho!
Ya…Layak itu relatif. Cukup itu juga relatif. Tergantung bagaimana pola hidupnya. Jika konsumtif, maka pasti tidak akan pernah cukup. Lebih besar pasak daripada tiang. Setiap tahun demo, sweeping hingga aksi mogok massal menurut saya – maaf rekan2 SP – bukanlah langkah berpikir bijak karena perusahaan berhenti produksi sementara dan kelamaan akan malah menambah jumlah pengangguran.
Menurut saya, buruh/karyawan itu harus meningkatkan kemampuan dirinya sendiri sehingga bernilai tawar tinggi. Baik pengetahuan maupun keterampilan dan tentu attitude-nya. Sehingga buruh/karyawan dapat menghargai dirinya dan mematok ‘harga’ lebih daripada sekedar upah minimum.
Pemerintah juga wajib menyediakan fasilitas kesehatan bagi buruh/karyawan. Tidak hanya BPJS kesehatan tapi wajibkanlah pula perusahaan besar/multinasional untuk menyediakan klinik kesehatan sendiri untuk buruh/karyawan, keluarganya dan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Ketika upah minimum hanya berlaku bagi mereka yang nol masa kerja dan lajang maka akan semakin banyak perusahaan yang memilih mempekerjakan buruh/karyawan yang belum menikah. Nah, persoalannya, siapa yang harus menanggung biaya hidup jika buruh/karyawan telah menikah dan memiliki anak usia sekolah? Bisakah pula perusahaan besar menanggung sebagian biayanya, misalnya memberikan beasiswa khusus bagi anak berprestasi yang bersekolah di sekolah swasta.
Akan lebih baik lagi jika program keluarga berencana digalakkan lagi dan pemerintah mengedukasi ‘door to door’ dari perusahaan padat karya ke perusahaan padat karya lainnya bagi para pekerja yang kemudian mewajibkan perusahaan yang melanjutkan program edukasi untuk plant/cabang/buruh/karyawan barunya.
Hal lainnya, mengingat kemungkinan penyesuaian harga BBM dan setaranya harga sembako dan susu baik di daerah kota/kabupaten maupun desa-desa, maka perusahaan harus mulai berhitung tentang produktifitas kerja. Dalam penyusunan struktur dan skala gaji harus dibuat indikator berdasarkan produktif/tidaknya seorang buruh/karyawan sehingga upah minimum hanya berlaku bagi mereka yang kurang produktif. Bagi yang produktif, bisa lebih daripada itu. Sekalian diedukasi bagaimana mengelola penghasilannya dan mempersiapkannya sebagai wirausaha.
Seringkali ada yang membandingkan upah minimum di Indonesia dengan di luar negeri. Tahukah Anda, di Cina, menurut tante saya yang tinggal dan bekerja di sana, buruh/karyawan tidak pernah libur Sabtu/Minggu/Hari Besar/ijin pribadi dan lain-lain seperti halnya di Indonesia. Nikah dapat cuti, kedukaan dapat cuti, mengkhitankan anak pun dapat cuti dibayar upahnya. Di sana, mereka harus bekerja sepanjang tahun sepanjang 365 hari nonstop jika mau hidup layak. Jika ada keperluan (apapun) dan harus libur, mereka harus ganti dengan jam/hari kerja berikutnya.
Di Indonesia? 365 hari dikurangi libur Sabtu dan Minggu +/- 96 hari/tahun. Masih dikurangi lagi dengan hari libur yang ditetapkan pemerintah dan cuti massal. Cuti sakit. Ijin kepentingan pribadi. Mangkir, terlambat masuk bekerja dan lain-lain. Kondisi ini pasti jadi pertimbangan bagi investor. Boleh minta naik 40% tapi mana hasil kerjanya? Hehe…
Ada baiknya juga pemerintah memeriksa laporan keuangan/pajak bagi perusahaan padat karya dan membandingkannya dengan perusahaan padat modal. Setiap waktu dan sewaktu-waktu, tidak hanya pada saat perusahaan mengajukan penangguhan penyesuaian upah. Jika perusahaan mampu memasukkan investasi mesin-mesin dengan harga aduhai jelaslah harus mampu membayar upah buruh/karyawan di atas upah minimum. Apalagi kalau mesin-mesin itu harus diimpor. Periksa juga aliran pendapatan dan pengeluaran perusahaan bekerjasama dengan perbankan.
Hal paling simple coba kita tanya para SPG di mall. Pengusahanya mampu buka outlet di mall-mall demikian banyaknya cabang tapi SPGnya rata-rata berpenghasilan pokok jauh di bawah upah minimum. Selebihnya dihitung dengan prestasi kerjanya sehingga untuk mengejar insentif/komisi, SPG harus bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang. Dari buka mall hingga tutup mall bisa 10-12 jam/hari.
Undang-undang sebetulnya sudah mengatur hal sanksi bagi perusahaan yang membayar upah kurang dari angka minimum. Pernah ada pengusaha yang harus dipidana karenanya. Tapi seberapa efektifkah, jika pejabat di bagian ketenagakerjaan tidak memberikan pengawasan dan pembinaan yang cukup?
Kiranya pemerintah di bawah Presiden Jokowi-JK mampu memberikan solusi bagi buruh/karyawan, pengusaha maupun pemerintah sendiri. Satu gebrakan pemerintah DKI saat Gubernur Jokowi ketika harus memutuskan penyesuaikan upah minimum tahun 2013 hingga 43,88% dibanding tahun 2012, yang diikuti oleh kepala daerah lainnya, maka saya yakin beliau juga akan memberi perubahan atas ketentuan upah minimum ini mengingat dewan pengupahan juga dibentuk karena adanya hak prerogatif presiden.
*Artikel sebelumnya http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/10/16/upah-minimum-1-685854.html
Berbagai sumber :
http://www.spsiptfi.org/sejak-kapan-ada-upah-minimum-dan-ketentuan-khl-di-indonesia.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H