Lihat ke Halaman Asli

Ibu, Sebuah Renungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ajakan buat merayakan hari ulang tahun itu membuatku tergagap. Aku bahkan sudah lupa kapan kali terakhir berulang tahun dengan peringatan. Sampai aku tiba di usia yg kata mereka sebaiknya di rayakan. Kali ini dengan makanan berlimpah di Utara Jakarta dan kue Taart berlilin angka. Tidak ketinggalan kembang api diatas kelapa.

Tangga usia kulewati dengan ragam cerita suka duka. Termasuk pergumulan batin yang dahsyat ketika memutuskan meninggalkan keluarga untuk merantau ke negeri seberang. Ternyata ada yang sesuatu yang membuatku harus pulang ke kampung halaman. Aku baru sadar bahwa ada warisan yang harus dijual dan di bagikan. Dan itu butuh tanda tangan.

Duniaku kini ada di sekitar kecintaan pada anak2 yang mulai kenal aksara.  Tamannya kanak-kanak. Dunia baru yang ku titi sebagai pelatihan buat melatih kesabaran. Termasuk pembelajaran mengikis ego dan cinta dunia yang berlebihan.

Perlahan tapi pasti aku mulai menyatu dengan dedaunan yang luruh dan berserakan di halaman. Aku punya kebiasaan baru sekarang. Menyapu dan dasteran. Sambil tak putus menyapa atau menjawab salam orang yang lalu lalang lewat menuju pekerjaan. Karena aku tinggal di kampung di pinggiran.

Dua tahun terakhir aku mulai punya urusan. Kini, dengan alat bantu pernapasan, aku mulai merasa punya kekurangan. Tidak pede dengan penampilan. Juga enggan berurusan dengan orang, hiburanku berganti dengan buka komputer dan membaca tulisan pertemanan.

Dulu aku tak alpa mengikuti berita di TV kita. Tapi kini otakku tak mau lagi kompromi dengan argumen tanpa tata cara. Nonton olah raga Garuda juga bikin sesak dada. Orang tua ini sudah tak bisa melihat sesama kita koq tega saling  mencerca. Sesekali aku mengintip cerita dan kehidupan selebriti yang pandai menjual berita. Padahal aku tahu   dengan mata dan telinga itu bisa jadi awal dari sebuah dosa.

Kupikir kesendirian cuma milik aku semata.  Ternyata kesepian juga mendera penjual terasi di desa. Karena anaknya semua merantau ke kota besar khususnya  Jakarta. Air mata dan kegalauan ketika bercerita tentu menyiratkan kerinduan dan kesepian di ujung renta usia. Wanita itu tentu tak lagi berpikir tentang bulanan atau santunan. Karena uzur belum menghalanginya dari menggulirkan roda kehidupan.

Barangkali aku salah menyimpulkan . aku masih banyak mendapati cerita tentang kemuliaan. Diantara pasien rumah sakit yang berseliweran,  di pusat2 perbelanjaan.... dan Subhanaulloh....tiba2 sebuah ingatan menerjang....

Di antara Shofa - Marwah...., di Baittullah....aku menggandeng  ibuku mendiang.. menemaninya berhaji adalah yang aku lakukan buat menebus kesalahan. Karena telah membuat perempuan yang melahirkan aku masih terus kurepotkan..

Aku menaruh rasa hormat pada penyanyi montok berpayudara seperti Dolly Parton. Penampilannya yang kadang seronok sungguh berlawanan dengan kepatuhannya mendengar wejangan ibu untuk bertukar jargon . Duuhh...semoga keridhoan ibunya membuat pedangdut ini hidup dalam kemuliaan, karena keridhoan Allah dalam Keridhoan ibunya si Rembulan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline