Jakarta, Indonesia -- Krisis iklim telah menarik perhatian besar sebagai risiko yang signifikan terhadap kehidupan dan mata pencaharian orang-orang di seluruh dunia. Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa suhu permukaan global meningkat sebesar 1,1C di atas level tahun 1850--1900 selama periode antara tahun 2011 dan 2020 (IPCC, 2023). Sementara itu, data dari Copernicus (2024) -- program pengamatan bumi Uni Eropa -- menunjukkan bahwa peningkatan suhu rata-rata lima tahun sejak paruh kedua abad ke-19 diperkirakan sebesar 1,2--1,3C. Lebih jauh, Laporan Penilaian Keenam setebal 8.000 halaman dari IPCC menggarisbawahi fakta bahwa situasi yang memburuk menyebabkan naiknya permukaan laut, kondisi cuaca ekstrem, peningkatan frekuensi bencana terkait iklim, dan dampak negatif pada kesejahteraan manusia yang mencakup konsekuensi ekonomi, sosial, dan kesehatan (IPCC, 2023).
Dalam era di mana perubahan iklim menjadi isu global yang mendesak seperti di sebutkan diatas, Indonesia berusaha keras untuk melakukan transisi menuju energi bersih. Irvan Pulungan, Managing Partner Climate-Hub Indonesia, dan Country Director dari Aliansi Keuangan untuk Net Zero, berbagi pandangannya mengenai tantangan dan peluang dalam transisi energi di Indonesia di sebuah wawancara eksklusif. Menurutnya, transisi energi bersih bukan sekadar mengurangi emisi karbon, tetapi juga memastikan akses energi yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil yang selama ini terpinggirkan. Dalam wawancara tersebut, Irvan Pulungan menekankan pentingnya pemerataan infrastruktur dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) yang berkelanjutan dan inklusif.
Irvan Pulungan membuka penjelasannya dengan menekankan betapa pentingnya pemerataan infrastruktur dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). "Transisi menuju energi bersih harus menjadi prioritas, tidak hanya dalam konteks mengurangi emisi, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap sudut negeri bisa merasakan manfaat dari energi bersih," ujarnya. Ia menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan harus sejalan dengan SDGs, terutama pada tujuan ketujuh yang berfokus pada energi bersih dan terjangkau serta tujuan kesebelas yang menekankan kota dan permukiman berkelanjutan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil, terutama batubara, yang menyuplai lebih dari 50% kebutuhan listrik nasional. "Ketergantungan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan yang mengakibatkan tingkat polusi udara yang sangat tinggi, yang memiliki dampak terusan berupa tingginya angka penyakit pernapasan yang pada akhirnya meningkatkan beban biaya BPJS dan APBN. Ditambah lagi," jelas Irvan. Ketika energi fosil mulai menipis dan semakin banyak negara yang mengadopsi kebijakan net zero, Indonesia perlu beradaptasi dengan cepat untuk mengurangi ketergantungan ini dan beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Irvan mengungkapkan bahwa infrastruktur energi yang belum memadai, terutama di daerah terpencil, juga menjadi masalah besar. "Di banyak daerah, akses terhadap listrik masih terbatas. Kita tidak bisa hanya fokus pada pengembangan energi di kota-kota besar, tetapi juga harus memberikan perhatian serius pada masyarakat di daerah terluar dan terjauh kepulauan Indonesia," tegasnya. Menurutnya, tanpa adanya distribusi infrastruktur yang merata, potensi energi bersih yang ada tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal. Ia menekankan bahwa pembangunan infrastruktur yang merata akan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan akses energi di seluruh Indonesia.
Di samping itu, kurangnya investasi dalam EBT juga menjadi salah satu penghalang utama dalam transisi energi di Indonesia. Meskipun pemerintah telah berupaya mendorong investasi melalui berbagai kebijakan dan insentif, banyak investor yang masih ragu untuk berinvestasi di sektor ini. "Kendala regulasi dan proses perizinan yang rumit sering kali menjadi alasan utama mengapa investasi tidak mengalir deras ke sektor EBT," ungkap Irvan, lebih lanjut ia menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk memperkuat kerangka kebijakan dan struktur institusional agar agenda transisi energi Indonesia dapat berjalan dengan efektif. Di samping itu Irvan berpendapat, di perlukan penyederhanaan proses yang dapat mengakselerasi pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan skema kolaborasi bersama seluruh pemangku kepentingan.
Walaupun tantangan tersebut ada, Irvan optimis bahwa Indonesia memiliki banyak peluang untuk bertransformasi menjadi negara yang bertumpu pada energi baru dan terbarukan yang berkelanjutan. Ia mencatat bahwa potensi sumber daya EBT yang melimpah di Indonesia, seperti energi surya, angin, hidro, dan geothermal, merupakan aset yang sangat berharga dan belum dikembangkan secara optimal. "Jika kita memanfaatkan potensi ini dengan baik, Indonesia tidak hanya akan memenuhi kebutuhan energinya sendiri, tetapi juga dapat menjadi eksportir energi bersih di kawasan Asia Tenggara," jelasnya.
Selain itu, dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya transisi energi bersih juga semakin meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis, seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan peningkatan porsi EBT dalam bauran energi nasional. "Kita melihat bahwa dukungan pemerintah terhadap pengembangan EBT semakin kuat, dan ini merupakan langkah positif yang harus terus didorong," ujar Pulungan.
Irvan Pulungan juga menggarisbawahi pentingnya kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan. "Kemitraan adalah kunci untuk menciptakan ekosistem energi bersih yang efektif. Kita perlu mendorong kolaborasi dari berbagai pihak untuk mengembangkan proyek-proyek EBT yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat," katanya.