Lihat ke Halaman Asli

Adolf Izaak

TERVERIFIKASI

Secuplik Kisah di Balik Kelenteng Kota Ternate

Diperbarui: 27 Januari 2017   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelenteng Thian Hou Kiong Ternate | Ket foto : Keterangan Kelenteng yang sudah di pugar tahun 2007

Nun jauh di belahan Indonesia Bagian Timur (dari Jakarta), di salah satu pulau yang terkenal “seribu benteng”, ternyata terdapat sebuah tempat ibadah kecil. Namanya Kelenteng Thian Hou Kiong. Ngga nyangka ternyata usianya sudah 400 tahun lebih. Pertama kali dibangun tahun 1657 kemudian harus mengalami pemugaran tahun 2007.Pemugaran ini tidak bisa dihindari meski ada keraguan dan pesimis dari pihak tertentu akan kehilangan nilai orisinalitas atau keasliannya. Tapi mau bagaimana lagi. Jika ingin tetap bisa dilihat sampai sekarang, tidak ada pilihan harus dipugar. Bahan untuk dinding dan ornamen lain mana mungkin bisa bertahan sekian ratus tahun.

Melewati rentang sekian ratus tahun bukan berarti tanpa dinamika. Ternate pernah dipimpin 48 orang raja Ternate, 20 orang gubernur Portugis, 53 gubernur VOC. Dampak buruk letusan gunung yang masih aktif di Pulau Ternate, Gunung Gamalama, sedikit banyak akan “mengusik” keberadaan vihara. Proses penuaan, pelapukan, dan sangat mungkin akan suatu saat akan lenyap jika tidak dilakukan peremajaan. Jika sudah lenyap, apakah cukup mengenalnya hanya dari buku-buku literatur atau kisah di novel?

Kelenteng & Kehadiran Orang Cina

Minimnya catatan sejarah, dokumen, data tertulis, tidak menutup fakta kehadiran orang-orang Cina di Ternate. Klenteng Thian Hou Kiong benar berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah orang-orang Cina beragama Konghucu, sekaligus bukti eksistensi mereka. Tidak mudah mencatat berapa jumlah warga Ternate yang memeluk agama Konghucu, yang memanfaatkan vihara ini sebagai tempat ibadah rutinnya. Sangat mungkin jumlahnya tidak banyak mengingat mayoritas warga Ternate memeluk agama Islam.

Tampak Luar Kelenteng di Kota Ternate

Letak vihara yang bisa dikunjungi setiap warga, pendatang, wisata, ada di Jalan Topekong, Kecamatan Gamalama, Kota Ternate. Keberadaannya nyaris tenggelam di antara sekian banyak benteng peninggalan Portugis dan Belanda.

Hampir tidak berbeda dengan vihara di tempat-tempat lain. Ketika memasuki area vihara, warna merah dan emas mendominasi penglihatan, yang merupakan simbol kemakmuran bagi komunitas Cina. Ada tempat untuk sembahyang, penyembahan kepada dewa-dewa, sesuai keyakinan dan ajaran dalam agama Konghucu.

Kapan orang-orang Cina pertama kali datang? Dipimpin oleh siapa? Tujuannya untuk apa? Di mana persisnya mereka pertama kali menginjakkan kaki di wilayah Ternate? Sayangnya pertanyaan seperti ini tidak mudah terjawab jika mendasarkan catatan sejarah.

Tidak keliru jika wawasan dan pengetahuan kita selama ini memahami bangsa Eropalah yang mendominasi bumi Maluku. Hanya saja memperkirakan bahwa cengkeh dibawa pertama kali oleh orang Portugis atau VOC dan menjadi sedemikian populer di Eropa, patut dikritisi. Rasanya kita juga tidak perlu menutup wawasan sejak abad ke-3 cengkeh, rempah-rempah, sudah dikenal secara umum oleh masyarakat Terqa di Mesopotamia dan Syria.

Sulit meragukan andil dan peran orang-orang Cina dan pedagang Arab yang memperkenalkan pertama kali cengkeh untuk orang Eropa. Cengkeh yang dibawa dari bumi Ternate.

Nama Maluku sudah pernah tercatat dalam Tambo Dinasti Tang yang berkuasa di negeri Cina tahun 618-906. Di sebut nama “mi-li-ku”, yaitu sudah patokan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang letaknya di sebelah barat. Merujuk keberadaan negeri Maluku tidak lain sebagai negeri berlimpah cengkeh, rempah-rempah, yang dibutuhkan di negeri Tiongkok. Demi kepentingan bisnis, para pedagang dan pelaut Cina yang tahu sumber cengkeh berlimpar di Maluku, mereka merahasiakan jalur pelayarannya. Entah bagaimana prosesnya akhirnya orang Eropa tahu sangat berambisi mengejar “emas hitam” ada di Maluku.

Tampak samping Kelenteng di kota Ternate

Mengenai cara mewujudkan kekayaan dan kejayaan, sudah sering didengar dilakukan dengan cara kasar dan ambisius. Awalnya datang berjumpa dengan penguasa setempat, bersikap manis. Namun, lama-kelamaan mulai muncul arogansi nafsu menguasai.

Kedatangan orang-orang Cina berbeda dengan orang Eropa tadi. Meski yang diincar adalah rempah-rempah, cengkeh, pala, merica, caranya melalui dagang atau barter. Datang ke sumber asalnya untuk membeli lalu dibawa kembali ke negerinya untuk dijual dengan harga lebih tinggi. Porselin, keramik, sutra, adalah sebagaian kecil komoditi yang dibawa untuk dibarter atau diperdagangkan di Ternate. Proses ini berlangsung terus dan memberikan warna dalam tata kehidupan pemerintahan setempat. Transaksi bisnis dalam proses sederhana mulai dikenal sejak kedatangan orang-orang Cina meski tidak menutup kemungkinan kedatangan Orang Arab juga untuk berdagang.

Tidak ada ambisi untuk menjadi penguasa di negeri Ternate. Tidak ada misi “glory”, penyebaran agama Konghucu. Satu lagi, kedatangan orang-orang Cina sama sekali tidak ada maksud penyebaran agama. Murni dagang. Berarti tidak mengusik keberadaan agama Islam yang sudah lebih dulu ada. Kepentingan dagang, mengontrol perdagangan, adalah yang dominan bagi pemegang modal besar dari negeri Cina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline