“Berani ngga moto malam di Lawang Sewu?”, tanya rekan saat berjumpa rekan yang tinggal di Semarang. Waktu itu yang kesekian kalinya berlibur disana. Pertanyaan sekaligus tantangan niat. Sebagai fotografer peminat panorama sudah terbayang pasti hasilnya beda jika dilakukan sian yang pernah lakukan beberapa kali. Namun kendala di luar nalar tidak mudah untuk langsung meng-iya-kan.
Lawang Sewu, yang artinya pintu seribu, salah satu icon wisata yang sangat populer di kalangan pelancong. Tidak heran mereka yang pertama kali ke Semarang wajib ke sini. Bangunan bersejarah yang di buat jaman kolonia Belanda, dulunya berupa kantor administrasi perusahaan kereta api Belanda. Setelah menjalani renovasi, konservasi dan revitalisasi, fungsinya beralih sebagai museum.
Pastinya jika di hitung jumlah pintu tidak sampai seribu. Hanya saja karena jumlahnya banyak di anggap setara dengan angka seribu, yang dulunya termasuk banyak. Bangunan yang di katakan pintu sebenarnya adalah jendela. Karena bentuknya besar lebih tepat di sebut pintu. Apapun “penyimpangan” penyebutan dan fakta di lokasi, bangunan ini sangatlah eksotik. Corak seni sangat kental dan terlihat jelas. Karenanya tidak sedikit yang berminat datang ke sini.
Sayangnya, selain memiliki nilai sejarah dan seni tinggi, masa kelam yang pernah di laluinya membuat sebagian pengunjung mengalami hal-hal yang di luar nalar saat berkunjung. Tidak semua pengunjung pastinya. Bagi saya pribadi sudah 4 kali ke sini. Semuanya sian. Tujuannya tidak lain berwisata sekaligus menyalurkan hobi foto. Pengalaman pribadi 2 kali aman dan lancar tanpa ada gangguan, namun 2 kali juga mengalami sesuatu ya itu tadi di luar nalar dan logika. Lebih tepatnya hanya sugesti subyektif saja yang belum tentu orang lain mengalaminya.
Meski sudah mengalami renovasi yang hasilnya lebih cantik dan nyaman, tetap saja masih ragu. Selain belum pernah datang apalagi motet malam hari, masih terbawa ingatan pengalaman sugesti subyektif tadi. Keinginan kuat mendapat hasil yang berbeda semakin menggebu akhirnya ku terima sekaligus menjawab tantangan tadi.Niat baik, tulus, dan doa, agar semua lancar.
Di temani pemandu dan 2 orang rekan kami datang saat malam hari sekiitar pukul 9 malam. Berbekal kamera dan alat bantu tongkat kaki tiga (tripod) untuk mendapat hasil optimal. Bedakah jika datang siang? Yang ku rasakan beda. Tidak panas di banding datang siang. Hanya saja karena masih ada sedikit trauma tidak semua sudut lokasi kami datangi. Rasanya lega setelah kami anggap cukup mengisi kartu memori. Cukup puas dengan hasilnya, lancar tidak ada gangguan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H