"..Dua orang bocah berlari mendekati sebuah mobil kijang di pertengahan 80 an...Setiap hari mereka melakukan hal yang sama demi seseorang berseragam di balik setir kemudi...."
Quote di atas adalah sekelumit kenangan masa kecil dari saya dan kakak setiap sore menyambut almarhum Papa pulang kantor. Hal yamg mungkin sama dilakukan anak - anak terhadap orang tuanya.
Namun yang paling terkenang dari beliau secara pribadi bagi saya, adalah bercak darah di kaos kakinya. Saya yang belum berusia 4 tahun kala itu, dengan polos bertanya pada Mama.
" Mengapa ada darah di kaos kaki Papa?, tanya saya.
Mama tidak menjawab. Malah saya dan kakak di suruh tidur siang agar sore hari bisa bangun laku dimandikan dan kembali menanti Papa pulang kerja.
Melepas dan mencopof kaos kaki Papa adalah kesukaan saya. Ketika turun dari mobil dan duduk dengan seragam PNS, saya lebih suka melakukan itu.
Namun semenjak menemukan jejak bercak darah, jiwa bocah saya tak tertarik lagi pada uang kertas 100 rupiah berwarna merah yang kerap diberi sebagai hadiah.
Kepenasaran saya pada darimana asal bercak merah itu, jauh lebih besar dari kakak perempuan yang saat itu sudah kelas 1 SD.
Beberapa bulan kemudian, di bulan kelahiran saya menjelang usia 5 tahun, saya melihat Mama tampak bingung di rumah. Mama menyiapkan rantang susun yang sudah terisi nasi dan lauk pauk. Tak lupa termos air panas model jaman dulu.
" Kakak belum pulang sekolah. Kamu ikut Mama ke rumah sakif. Papa sakit," kata Mama