"...Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang..." (Pasal 28 UUD 1945).
Perubahan terhadap Pasal 28 mengenai kebebasan berpendapat bagi warga, mengalami amandemen sebanyak 4 kali mulai 1999 hingga 2002. Alhasil yang tadinya cuma satu pasal, lalu beranak pinak punya turunan Pasal 28 A hingga 28 I.
Pertanyaan sederhana, apakah warga dari Sabang sampai Merauke, paham dan mengerti penerapan nya manakala menyuarakan kritikan sebagai kebebasan ekspresi?
Ini bukan masalah media ekspresinya apa, tapi pengetahuan dasar hukumnya barangkali.
Padahal ini penting karena keleluasaan beropini, baik secara langsung dan di depan umu, maupun via medsos atau semacam Mural, sejatinya memerlukan seni untuk dikritik.
Ngga bisa spontan, meluap dan emosional. Baiknya paham hukum, cara menyampaikan dan materi tulisan maupun lisan, agar tak menjadi bumerang.
Ada ungkapan maksud yang baik mesti disampaikan dengan cara yang baik ,agar dapat diterima dengan baik.
Merunut ke sekian tahun ke belakang, sebagai yang mengalami peralihan dari jaman orde baru ke jaman reformasi, keran rakyat berekspresi makin terbuka dan frontal sejak 1998.
Bisa jadi lantaran itu, pasal 28 ini diamandemen pasca reformasi 1998 demi mengatur kebebasan warga berpendapat.
Kejatuhan Presiden Soeharto, kadang disebut sebagai akibat people power ato sederhananya kekuasaan rakyat menumbangkan seorang pemimpin.