Just Sharing....
Berapa banyak dari kita yang masih ingat isi Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 silam? Salah satunya adalah komitmen terhadap bahasa negara.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Ternyata dengan berjalannya waktu, lintas generasi di bumi NKRI tak hanya kukuh pada bahasa negara, tapi juga pada bahasa daerah.
Ibarat keluarga, bahasa Indonesia adalah bahasa ibu, bahasa lokal adalah bahasa anak. Saat berkomunikasi dalam keluarga inti, sang anak menggunakan bahasa negara. Kala sang anak berada di komunitasnya (wilayahnya), dia dapat menggunakan dua bahasa. Hendak menggunakan bahasa ibu ataukah bahasa anak, berpulang pada kebutuhan dan kepada siapa dia berbicara.
Itulah sisi baiknya ada pelajaran bahasa daerah di sekolah. Meski tak semua sekolah di tanah air mengajarkan soal itu. Papua dan Papua Barat contohnya. Dua propinsi di ujung timur Indonesia.
Saking memiliki banyak bahasa daerah dari keseluruhan suku-suku di sana, hampir pasti tak ada mata pelajaran itu di level sekolah dasar hingga sekolah menengah.
"Masa sih ngga ada," tanya salah seorang teman di kantor.
Pertanyaan yang sama dari jaman kuliah. Logikanya, dengan ratusan bahasa lokal di sana, bahasa (suku mana) yang mau dijadikan sebagai bahasa daerah.
Tentulah sulit. Beruntungnya, itu terwakili (sedikit) dalam dialek (logat) khas daerah pada bahasa Indonesia sehari-hari. Kendati beberapa kata atau istilah di sana juga dipakai dalam komunikasi sehari -hari di propinsi lain. Misalnya, dong atau dorang, kitorang atau kita orang, pergi di singkat pi, kamu disingkat ko.
Tak salah bila ada guyonan khas dialek Indonesia Tmur. Percakapan dua orang. Si A bertanya ke si B
A: Ko pi mana (kamu pergi kemana)
B: Sa pi main bola (Saya pergi main bola)
Tak nyambung memang..hehe. Kopi yang mana dijawab sapi main bola. Terdengar lucu bagi sebagian masyarakat di kawasan lain.