Lihat ke Halaman Asli

Brader Yefta

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Banjir Sentani dan Tenggelamnya Kampung Halaman Saya

Diperbarui: 26 Mei 2019   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah warga melihat rumah yang rusak akibat banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (17/3/2019). Berdasarkan data BNPB, banjir bandang yang terjadi pada Sabtu (16/3) tersebut mengakibatkan 42 tewas. ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.(KOMPAS.COM/ANTARA FOTO/Gusti Tanati)

Apa yang ada di benak Anda bila melihat kampung halaman yang dulunya indah kini tertutup oleh air? Tempat yang dulunya menyimpan banyak kenangan indah bersama orang tua dan keluarga besar berubah bak rumah ikan atau kerambah di tengah danau. Tidak ada kehidupan,berganti menjadi sepi. Tidak ada penghuni. Tidak ada aktifitas.

Kampung Ayapo Dalam Kenangan

Tanah di halaman depan rumah panggung berderet yang kala dulu menjadi tempat duduk bersama Abu dan saudara - saudara sepupu berubah menjadi perairan karena luapan air danau. Teringat saat masih bocah di sekolah dasar hingga remaja, tanah di halaman depan rumah Abu adalah tempat bermain dan berlarian. Abu dalam bahasa Suku Sentani adalah sebutan untuk kakek atau nenek. Abu perempuan artinya nenek sebaliknya Abu laki -- laki adalah panggilan untuk kakek.

Saat pagi hari, udara dingin dan Abu menyalakan api dari sisa --sisa potongan kayu dan enceng gondok yang dibawa air danau ke daratan., Tepat di bawah rumah panggung Abu yang berpondasi kayu. Lalu kami cucu-cucunya bangun dan duduk mengelilingi lingkaran bara api sambil memandang air danau yang tenang.

Di sore hari, kami membakar ikan (gabus) dan juga ubi dengan bara api yang kami nyalakan. Lauk ikan tersebut kami makan dengan papeda buatan Abu. Papeda adalah bubur olahan sagu, pohon sumber pangan yang dulunya banyak tumbuh di pinggiran danau sentani.

Pertengahan tahun delapan puluhan hingga pertengahan sembilan puluhan, jaman di mana saya bertumbuh dari anak -- anak menjadi remaja, halaman depan rumah Abu adalah tempat belajar. Saya menyebutnya tempat belajar lantaran di sinilah saya belajar berenang. Abu dan bapade mendorong saya lompat dari jendela di rumah Abu lalu belajar mengepak- ngepakkan tangan di air danau.

Bapade (bapa adik) adalah panggilan di Papua kepada adik laki-laki dari papa. Bila saya takut, selang dua hari atau tiga hari kemudian bapade mengajarkan ulang. Orang tua saya membiarkan apa yang dilakukan oleh Abu dan bapade karena anak laki -- laki harus bisa berenang. Apalagi anak sentani.

Selain belajar berenang, Abu laki --laki juga mengajarkan saya menaiki perahu dan mendayung di atas danau. Mulai dari menjaga keseimbangan saat duduk dan ketrampilan memutar dayung saat perahu berada di atas air danau. Jadilah itu menjadi kesukaan saya saat berlibur ke kampung.

Meminjam perahu abu dan mendayung sendiri. Tanpa ditemani siapapun. Dari rumah Abu di tanjung, sampai rumah Tanta di ujung tanjung yang lain. Masih dalam satu Kampung Ayapo. Kadang sendiri mendayung, kadang pula bersama saudara sepupu yang lain. Mendayung perahu ke tengah danau. Lalu melompat berenang dan naik kembali ke perahu. Sangat menyenangkan. What a beautiful memori.

dokpri_dermaga to kampung ayapo 2015


Papa kala itu bekerja sebagai PNS di kantor gubernur (sekarang disebut kantor pemprov). Kami tidak tinggal di kampung,namun di hari libur atau hari raya, papa mengajak kami ke Kampung Ayapo mengunjungi sanak famili. Kebetulan Mama juga berasal dari kampung yang sama dengan papa. Daerah dari Abepura, Padang Bulan, pinggiran Danau Sentani hingga Bandar Udara Sentani sampai ke lokasi terdampak banjir dulunya adalah wilayah Kecamatan Sentani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline