Lihat ke Halaman Asli

Cuma [Belajar] Politik [Kecil]

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi menjelang siang saat saya tiba di lantai 3 kampus. Saya berhenti tepat di depan ruang Sekretariat Bersama (SEKBER), yang oleh anak-anak BEM diakui sebagai ruang BEM.

Pagi itu disana, mata saya tertuju kepada selembar kertas yang terpasang secara vertical. Tulisan dalam kertas itu menarik perhatian saya. "BPM dan BEM jabatannya sudah habis! Mau kapan Mumas bung?". Saya tersenyum teringat tahun lalu tentang pamflet Pak Rektor juga dipasang saat sudah habis jabatannya.

Terlepas dari Rektor dan dinamikanya, saya senang juga melihat adanya mahasiswa yang peduli di saat pihak kampus sendiri terlihat sudah tak peduli dengan organisasi mahasiswanya. Masih ada yang ingin bermusyawarah untuk memilih Presiden BEM dan Ketua BPM. Masih ada yang peduli meski selalu tinggal setengah mahasiswa yang bertahan, saat agenda pentingnya (baca: pemilihan) berlangsung. Hal ini terjadi karena Mumas di kampus saya pemilihannya sampai jam tiga pagi. Entah apa maksudnya. Mungkin, biar tak terlalu banyak kepentingan yang bermain.

Semakin malam semakin asyik. Begitulah yang pernah dikatakan mahasiswa manajemen saat mengajak saya berkoalisi tahun lalu. Belajar lobi, negosiasi, hingga beroposisi saat tujuan tak tercapai.

Banyak pelajaran politik penting yang terambil. Meski kecil namun sangat bermamfaat.

Terasa asyik mengamati orang merangkul anak-anak semester bawah agar banyak pendukung. Terasa hidup saat dinamika berjalan. Meski sedikit kecewa karena ada pihak yang belum dewasa, menanggapi kritik yang dipajang melalui pamflet-pamflet gelap.

Bagaimana bargening politik terjadi. Saat lembaga eksekutif mati dan legislatif berrencana menggelar Mumas Luar Biasa. Ya, meskipun tidak semuanya terjadi secara santun, saya tetap menikmatinya dan ikut larut di dalamnya. Satu yang terlupa, "Dewan yang politiknya nggak kecil juga banyak tidak santunnya".

Lantas bagaimana Mumas kali ini? Toh BPM sebagai lembaga legislatif yang berhak menyelenggarakan Mumas sendiri sudah berakhir jabatannya. Mau siapa yang menyelenggarakannya? Toh, kampus sendiri tampak tak peduli.

BPM sebagai lembaga legislatif di kampus sudah mengusulkan Mumas digelar sebelum SK berakhir. Namun hal yang baik itu dimunculkan ke publik, orang-orang eksekutif menolak dan merasa mereka punya kewenangan untuk ikut menentukan kapan Mumas. Atau mungkin juga mereka takut 'dimakzulkan'. Anehnya, ketua BPM malah menghentikan program yang sebetulnya bisa membuat hal sekarang tidak terjadi.

Politik oh politik. . . Entah apa yang telah terjadi. Padahal DPR dan Presiden (baca: ketua BPM dan Presiden BEM) bukan berasal dari partai yang berbeda.

Saya tersenyum, teringat sahabat saya di jurusan Administrasi Negara, pernah mengingatkan saya saat saya terpilih menjadi Presiden BEM dua periode yang lalu, "Tak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi!".

Saya tertawa mengingat orang yang dalam Mumas itu karakternya seperti Ruhut Sitompul dalam Sidang Pansus Century lalu. Mungkin memang itu yang terjadi dalam politik kali ini.

Dan disaat saya mulai kembali menaikki tangga kampus, seseorang menepuk pundak saya dari belakang. Saya berbalik. Dia adalah sahabat yang saya ceritakan tadi.

Sambil setengah tertawa dia berkata, "Bos, AN dan Farmasi kayaknya OK nih!".

Entah apa maksudnya si 'Ruhut' ku ini[].

-- bukan UKM bukan PERS cuma MAHASISWA --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline