“Membaca adalah menabung, sementara menulis adalah membelanjakan isi tabungan”. –Faisal Oddang
Ada fenomena menarik yang terjadi pada mahasiswa (Indonesia) saat ini: ketidakmampuan untuk menulis. Lebih tepatnya kemampuan menulis sesuai khazanah penulisan yang benar.
Tak bisa dipungkiri jika saat ini mahasiswa mengalami sindrom 'alergi buku'. Di dunia yang serba praktis—saat ini—informasi semudah memainkan jari di layar smartphone. Buku seyogyanya merupakan alat perang bagi seorang mahasiswa dalam mengarungi belantara pendidikan. Namun, saat ini peran buku telah terganti oleh gadget—yang membuat mahasiswa saat ini lebih senang berselancar di dunia maya, tinimbang duduk di sudut rak buku perpustakaan.
“Mahasiswa saat ini, lebih senang melakukan saling-rekat (copy paste) dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen,” ujar Faisal Oddang.
Faisal Oddang adalah penulis “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon”—cerpen yang meraih penghargaan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2014—dan menyisihkan penulis kenamaan seperti: Djenar Maesa Ayu, Sapardi Djoko Darmono, Agus Noor, Budi Darma serta masih banyak penulis lainnya. Hebatnya lagi, Faisal Oddang memenangkan penghargaan itu saat usianya baru menginjak 20 tahun.
Pria bertubuh subur ini, lahir di Wajo, 18 September 1994. Saat ini, Faisal Oddang tengah tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis secara tak sengaja bertemu dengan Faisal Oddang, di foodcourtGraha Pena Makassar. Sangat tepat jika problem baca-tulis yang membelenggu mahasiswa saat ini, ditanyakan kepada seorang Faisal Oddang. Sebab, selain sebagai penulis, ia juga masih berstatus mahasiswa. Berikut ini kutipan wawancara dengan penulis novel “Puya ke Puya” ini:
Bagaimana kuliahnya?
(Sembari tersenyum) Yah, begitulah. Sekarang sudah semester 10.
Bagaimana perasaan Anda, saat mengetahui bahwa “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon” berhasil mengalahkan cerpen lain yang ditulis oleh penulis-penulis kenamaan negeri ini?
Harus diluruskan di sini. Saya tidak merasa mengalahkan mereka. Mungkin saat itu, juri lebih senang dengan tulisanku. Tidak menutup kemungkinan jika juri lain yang menilai, hasil yang berbeda bisa saja terjadi.
Sejak kapan senang menulis?
Sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya sudah menulis. Namun, untuk lebih serius menulis itu saat masuk di Sastra Indonesia, Unhas. Faktor lingkungan di bangku kuliah, membuat saya semakin intens menulis.