Lihat ke Halaman Asli

Ahok dan Pilkada DKI: Blasphemy atau Hate Speech?

Diperbarui: 17 April 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Faisal Anas

LBH Jakarta mengeluarkan rilis mengecam penerapan pasal penodaan agama pada Ahok. Menurut saya, Amicus Curiae adalah tradisi legal yang bagus dan perlu dilanjutkan di Indonesia.

Tapi begini. Ada yang tak dijelaskan oleh rilis LBH. Kendati benar MK dalam pendapatnya mengakui potensi tafsir terlalu luas yang berbahaya atas pasal penodaan agama; namun MK menolak mencabutnya karena belum ada UU baru yang menggantikan pasal itu, dengan delik yang lebih jelas dan ketat. Undang Undang yang disebut belum ada oleh MK  adalah UU Hate Speech.

DPR perlu ngebut agar UU tentang Hate Speech segera disusun untuk menggantikan pasal penodaan agama dalam KUHP yang bersifat draconian .

Perlu diketahui, ada beda tajam antara penodaan agama ( blasphemy ) dengan hate speech. Undang-undang atau pasal blasphemy berfungsi melindungi ide tentang kemuliaan agama. Karena fungsinya melindungi ide, dus abstrak, maka secara politik pasal penodaan agama lebih menguntungkan dan lebih sering digunakan oleh kelompok agama mayoritas.

Blasphemy pertamakali diterapkan di Inggris pada masa Katolik sebagai agama mayoritas berhadapan dengan Protestan. Diadopsi oleh Napoleon yang menerapkannya di negara-negara jajahannya. Belanda lalu membawanya ke Hindia Belanda dan memasukkannya ke dalam pasal pasal hatzaai artikelen di KUHP. Dan dilanjutkan oleh Indonesia yang sudah sejak 1945 merdeka kepada rakyatnya sendiri sampai kini.

Menggelikan, Islam di Indonesia dilindungi dengan hukum yang awalnya dibuat Katolik untuk merepresi Protestan. Namun perlu juga diketahui, korban terbanyak dari pasal penodaan agama ini di Indonesia justru datang dari pemeluk agama Islam, yakni orang yang berselisih dengan paham atau aliran Islam mayoritas.

Berbeda dari blasphemy, Hate Speech berfungsi melindungi warga minoritas dari kampanye diskriminasi yang melibatkan kekerasan. Jadi lebih konkret.

Namun perlu diingat, minoritas yang dimaksud adalah minoritas sebagai group sosial -- bukan individual.  Jadi mengatakan "tolak Ahok" atau "gantung Ahok", misalnya, itu  tidak seketika berarti hate speech. Selagi benar bahwa seruan seperti itu bisa dipidana, namun ia tidak mencukupi sebagai hate speech , selama bukan bagian dari upaya mendorong kebijakan diskriminatif.

Hate speech terjadi ketika ada seruan atau kampanye agar negara membuat kebijakan yang bertujuan mendiskriminasi minoritas Tionghoa atau Kristen, misalnya. Hate speech terjadi ketika dalam kampanye itu ada seruan untuk memaksa dengan kekerasan, misalnya agar Tionghoa atau Kristen tidak boleh pergi ke TPS. Contoh lain: kampanye atau seruan untuk melarang dengan kekerasan pembangunan gereja atau vihara.

Kembali pada rilis LBH, Ahok bisa saja diadili dengan pasal penodaan agama. Ini bukan perkara salah atau benar, melainkan politik: pasal itu belum dicabut MK dan masih berlaku sebagai hukum positif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline