Sejak dulu subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi masalah pelik bagi pemerintah.
Sejak dulu pemerintah selalu mengeluarkan ratusan triliun untuk melakukan subsidi terhadap BBM agar harganya terjangkau oleh masyarakat.
Dalam APBN tahun ini, pemerintah sudah menganggarkan sebesar Rp 502,4 Triliun untuk subsidi BBM. Jika harga minyak dunia tidak naik, nilai kurs stabil, dan konsumsi BBM bersubsidi tetap, maka anggaran sebesar itu mestinya mencukupi hingga akhir tahun.
Faktanya, harga minyak dunia mengalami peningkatan hingga USD105 perbarel, nilai kurs USD naik menjadi Rp14.700 dan volume konsumsi BBM bersubsidi juga meningkat drastis.
Akibatnya, pemerintah harus menanggung subsidi yang lebih besar dari yang dianggarkan sebelumnya.
Harga BBM jenis Pertalite misalnya, saat ini masih dijual dengan harga Rp 7.650 per liter, padahal harga keekonomiannya atau harga yang seharusnya sudah mencapai Rp 14.450 per liter. Itu artinya, pemerintah harus menanggung selisihnya sebesar Rp 6.800 per liter.
Demikian pula dengan BBM jenis Solar, saat ini masih dijual dengan harga Rp 5.150 per liter, padahal harga yang seharusnya sudah mencapai Rp 13.950 per liter. Itu artinya pemerintah harus menanggung selisihnya sebesar Rp 8.800 per liter.
Demikian pula dengan gas Elpiji 3 kilogram, saat ini masih dijual dengan harga Rp 4.250 per kilogram, padahal harga yang seharusnya sudah mencapai Rp 18.500 per kilogram. Itu artinya pemerintah harus menanggung selisihnya sebesar Rp 14.250 per kilogram.
Jika jumlah selisih harga itu dikalikan dengan jumlah konsumsi BBM dan LPG, maka nilainya tentu sangat besar.
Jika harga BBM dan LPG tidak dinaikkan atau subsidi tidak dikurangi, maka anggaran subsidi yang tadinya Rp 502,4 Triliun akan naik hingga Rp 700 Triliun.