Drama penangkapan terhadap MSAT, tersangka dugaan pencabulan terhadap beberapa santriwati di Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur akhirnya berakhir.
Untuk menangkap satu orang tersangka saja, aparat kepolisian membutuhkan waktu 17 jam dan harus mengerahkan ratusan aparat kepolisian serta belasan truk.
Dalam peristiwa malam itu, seorang polisi terluka dan 320 orang diamankan karena berusaha menghalangi penangkapan terhadap tersangka yang juga putra pemimpin ponpes tersebut.
Penangkapan tersebut terpaksa dilakukan oleh aparat kepolisian karena MSAT menolak pemanggilan polisi untuk diperiksa, bahkan melakukan perlawanan dengan mengerahkan santri dan simpatisannya.
Bahkan ketika kepolisian mencoba membujuk keluarga agar menyerahkan tersangka, pimpinan ponpes itu Kiai Muhammad Mukthar Mukhti tetap menolak dan menyuruh aparat kepolisian untuk pergi dengan alasan tuduhan terhadap putra kesayangannya itu hanyalah fitnah.
Penolakan sang kiai itulah yang membuat para santri dan simpatisannya nekat melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian.
Tersangka sudah diamankan dan kasus dugaan pencabulan tersebut sudah ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan, biarlah nanti pengadilan yang membuktikan apakah tersangka bersalah atau tidak.
Hal yang memprihatinkan adalah sikap para santri dan simpatisan di ponpes itu yang rela menjadi martir melawan aparat kepolisian demi melindungi tersangka dari penangkapan.
Sikap berlebihan dari para santri dan simpatisan tersebut tidak bisa dilepaskan dari budaya kultus individu yang begitu kental di Indonesia, bukan hanya di pesantren, namun juga di sebagian umat Islam dan kalangan masyarakat.
Akibat dari kentalnya kultus individu tersebut, biasanya para santri atau jamaah akan sangat loyal dan taqlid kepada kiai atau ulamanya.