Kemarin kontroversi pemecatan dr. Terawan di bahas di acara Talk Show Rosi di Kompas TV, dengan judul "Pemecatan Terawan, Konspirasi atau Pelanggaran Etik?"
Beberapa waktu yang lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah melakukan pemecatan tetap terhadap Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putanto, SpRad (K) karena dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat.
Salah satu alasan pelanggaran etik berat adalah terkait dengan metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau yang populer dengan sebutan terapi cuci otak yang dilakukan oleh dr. Terawan kepada pasiennya. Menurut IDI, terapi cuci otak tersebut belum diuji kebenarannya melalui riset.
Meskipun banyak pasien dr. Terawan yang sudah memberikan kesaksian yang positif terhadap terapi cuci otak tersebut, salah satu pembicara Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Prof. Zainal Mattaqin menganggap hal tersebut tidak cukup bagi dr. Terawan untuk melaksanakan terapi tersebut karena tidak ada bukti ujicoba pembanding antara yang sakit dan tidak sakit atau minimal ada pendapat ahli.
Benarkah tudingan itu?
Menurut dr. Terawan, DSA tersebut sudah pernah diuji secara ilmiah pada saat beliau menyelesaikan ujian disertasi program S3 di Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin pada tahun 2016. Riset tentang DSA tersebut bahkan telah menghasilkan enam orang Doktor termasuk dr. Terawan sendiri dan juga 12 jurnal internasional.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Daldiyono Hardjodisastro, perbedaan pandangan mengenai DSA ini hanyalah masalah perbedaan premis dasar atau tolak ukur yang bisa diselesaikan apabila kedua belah pihak bertemu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Melihat perlakuan dan sikap keras IDI terhadap dr. Terawan itu, menurut Rosi, ada kecurigaan atau dugaan bahwa pemecatan dr. Terawan tersebut merupakan konspirasi untuk mematikan karir dr. Terawan karena terapi cuci otaknya tersebut telah merebut lahan dokter spesialis lainnya.
Saya menilai, kecurigaan atau dugaan konspirasi tersebut sangat beralasan jika melihat fakta bahwa terapi cuci otak ala dr. Terawan tersebut dapat berdampak bukan hanya pada lahan dokter spesialis lainnya, namun juga bisa saja berpengaruh pada industri farmasi dan alat kesehatan lainnya.
Apalagi, ketika dr. Terawan masih menjabat Menteri Kesehatan, beliau juga pernah mengkritik para dokter sebagai salah satu penyebab tingginya biaya kesehatan dan klaim BPJS.