Lihat ke Halaman Asli

Adnan Abdullah

Seorang pembaca dan penulis aktif

Naik Kereta Rel Listrik, antara Jakarta dan Tokyo

Diperbarui: 16 Maret 2016   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi : c1.staticflickr.com"][/caption]Bagi pengguna kereta rel listrik (KRL) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), berdesak-desakan di dalam gerbong pada jam sibuk dan antrian KRL yang lama setiap akan masuk ke stasiun tertentu sudah menjadi masalah keseharian yang tidak ada habisnya. Bahkan pada jam sibuk, mulai jam 5 sore hingga malam, KRL yang akan masuk ke Stasiun Manggarai, akan berhenti selama 30 menit karena menunggu antrian masuk ke stasiun tersebut. Tidak hanya sampai disitu, ketika ada KRL yang mengalami kerusakan atau karena masalah lainnya seperti sinyal, maka dampaknya tidak hanya dialami oleh penumpang KRL yang rusak, namun juga berdampak pada terhambatnya perjalanan KRL yang lain. Penumpang harus menunggu dalam waktu yang lama di atas KRL yang penuh sesak, panas dan pengap.

Dalam dua tahun belakangan ini, sebenarnya PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan anak perusahaannya PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ) sebagai operator telah melakukan banyak perubahan dalam upaya meningkatkan pelayanan. Untuk mengatasi kepadatan penumpang, PT KCJ telah mendatangkan ratusan gerbong kereta dari Jepang. Sebagian besar KRL yang digunakan di Jabodetabek memang merupakan KRL bekas dari Jepang. PT KCJ juga telah menggunakan sistem e-ticketing seperti yang digunakan di negara-negara maju. Stasiun-stasiunnya pun sudah dipercantik dan diperluas dengan sarana parkir kendaraan bermotor yang cukup memadai.

Namun satu hal yang mesti dipahami, kebutuhan transportasi tidak hanya berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan, namun juga tidak kalah pentingnya adalah ketepatan waktu. Dalam hal ini, KRL masih sering mengalami keterlambatan, terutama ketika harus memasuki stasiun-stasiun tertentu. Terkait dengan hal itu, PT KCJ masih perlu melakukan pembenahan terhadap pengelolaan traffic control KRL yang masuk ke stasiun-stasiun tertentu yang sibuk.      

Untuk mengelola KRL secara profesional, Indonesia perlu mencontoh sistem dan manajemen perkeretapian yang ada di luar negeri, seperti di Jepang misalnya. Bukankah gerbong KRL Commuter Line yang digunakan di Jabodetabek merupakan KRL yang didatangkan dari Jepang? Istilah Commuter Line pun juga sepertinya meniru istilah Line yang ada di Jepang, seperti Yamanote Line, Chuo Line, Keio Line, dan seterusnya, sehingga PT KCJ semestinya juga mencontoh sistem dan manajemen perkeretapian modern yang digunakan di Jepang.

Seperti apa kereta api di Jepang? Kebetulan beberapa waktu yang lalu, Penulis berkunjung ke Tokyo. Selama berada di Tokyo, Penulis lebih sering menggunakan kereta untuk menjangkau tempat-tempat yang dituju. Kereta merupakan moda transportasi yang paling banyak digunakan oleh warga kota metropolitan itu. Selain karena harganya relatif lebih terjangkau, kereta di Jepang juga sangat nyaman, aman, dan tepat waktu. Selama dua pekan menggunakan kereta di Tokyo, Penulis tidak pernah menemui masalah-masalah seperti yang sering Penulis alami di Jakarta.    

Di Jepang ada 3 jenis kereta, yaitu KRL biasa, monorel, dan Shinkansen. Semuanya menggunakan tenaga listrik, yang membedakan adalah jenis rel dan kecepatannya. KRL biasa adalah kereta rel listrik yang menggunakan rel baja ganda, sama dengan KRL yang digunakan di Indonesia. Hanya saja rel dan stasiunnya tidak hanya ada di permukaan tanah, namun juga di bawah tanah (subway). KRL ini melayani rute jarak dekat, yaitu di dalam kota metropolitan Tokyo, serta daerah pinggiran kota melalui jaringan kereta komuter. Sedangkan monorel adalah kereta rel listrik yang menggunakan rel beton tunggal. Berbeda dengan KRL biasa yang menggunakan masinis, kereta ini digerakkan secara otomatis melalui sistem komputer. Monorel hanya melayani rute-rute tertentu dengan jarak pendek, seperti di bandara dan obyek-obyek wisata. Penulis menggunakan monorel ketika menuju Bandara Internasional Narita dan mengunjungi kawasan wisata di pulau Odaiba. Adapun Shinkansen adalah kereta rel listrik super cepat. Kereta ini juga menggunakan rel ganda, namun kecepatannya bisa mencapai 300km/jam, sehingga kereta ini ditujukan untuk melayani rute jarak jauh atau antar kota.

Jika KRL Commuter Line di Jabodetabek hanya memiliki 6 jalur atau rute perjalanan, maka jalur KRL di Tokyo sangat banyak dan rumit. Operator utama KRL di Tokyo, East Japan Railway Company (JR East) mengelola 36 jalur. Itu belum termasuk jalur lain yang dikelola oleh swasta dan perusahaan milik Pemerintah Daerah Metropolitan Tokyo, seperti Tokyu Corporation dan Keio Corporation dengan masing-masing 7 jalur, Tokyo Metro dengan 9 jalur, dan Toei Subway dengan 4 jalur. Hebatnya, dengan jalur yang rumit dan sebanyak itu, KRL di Tokyo selalu berangkat dan tiba tepat waktu di tempat tujuan. Tidak ada cerita, KRL harus antri dan menunggu sekian lama setiap akan memasuki stasiun tertentu, apalagi sampai terlambat sampai ke stasiun tujuan.   

[caption caption="sumber : cdn.deepjapan.org"]

[/caption] Di Tokyo ada ratusan stasiun KRL. Stasiun terbesar yang pernah Penulis kunjungi adalah Stasiun Shinjuku. Stasiun ini terletak di kawasan pusat bisnis dan merupakan stasiun penghubung utama lalu lintas KRL di Tokyo, seperti Stasiun Manggarai di Jakarta, bahkan lebih sibuk. Stasiun bawah tanah ini sangat luas, melayani 12 jalur, terintegrasi dengan pusat perbelanjaan, dan memiliki lebih dari 200 pintu. Stasiun ini merupakan stasiun kereta tersibuk di dunia karena setiap harinya melayani hingga 3,5 juta penumpang.    

Prosedur untuk menggunakan KRL di Tokyo mudah dan praktis. Pembelian tiket di setiap stasiun kereta di Tokyo menggunakan sistem e-ticketing. Bagi yang memiliki tiket berlangganan, seperti Pasmo atau Suica, kita tinggal melakukan tapping (menempelkan) tiket tersebut di gate in (pintu masuk), maka gate in menuju peron akan terbuka secara otomatis. Bagi yang ingin membeli tiket single trip (tiket sekali perjalanan), kita dapat membelinya secara mandiri di mesin yang tersedia disetiap pintu masuk stasiun. Untuk masuk ke peron, kita tinggal memasukkan tiket ke gate in dan gate in akan terbuka secara otomatis, lalu tiket kita akan keluar lagi dari get in. Tiket tersebut harus kita bawa lagi untuk digunakan ketika tiba di stasiun tujuan. Petunjuk arah ke setiap peron, rute atau jalur, dan stasiun tujuan juga terpampang dengan jelas dalam bahasa Jepang dan Inggris.

Setelah tiba di peron, kita tidak perlu menunggu lama hingga KRL yang kita tunggu datang. Untuk naik ke KRL pun kita tidak perlu terburu-buru, berebut naik, apalagi sampai dorong-dorongan. Setiap penumpang akan naik ke KRL dengan tertib. Ketika pintu terbuka, penumpang tidak akan langsung naik, tetapi berdiri di samping pintu untuk memberikan kesempatan kepada penumpang yang akan turun terlebih dahulu, setelah itu barulah penumpang naik ke KRL dengan tertib.       

Jenis gerbong KRL yang digunakan di Jepang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan KRL di Jabodetabek karena KRL yang digunakan di Jabodetabek adalah KRL bekas dari JR East. Hanya saja kondisinya tentu masih jauh lebih baik. Pada jam-jam sibuk, KRL di Tokyo juga sangat padat penumpang seperti di Jabodetabek, namun demikian penumpang tetap merasa nyaman karena AC masih berfungsi dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline