Lihat ke Halaman Asli

Adnan Abdullah

Seorang pembaca dan penulis aktif

Aku Seorang Mantan Pejabat

Diperbarui: 1 Maret 2016   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : http://pictures.finomnc.top"][/caption]Aku baru saja terdiam dalam himpitan bumi yang basah karena hujan. Aku terdiam dalam sunyi sepi sendiriku. Sangat gelap, hitam, pekat. Sayup-sayup terdengar suara tangisan seorang perempuan meraung-raung di atas sana. Aku sangat mengenal suara itu. Itu suara Sarah, istriku tercinta.

Tidak berapa lama kemudian, suara itu perlahan-lahan lenyap ditelan derasnya guyuran hujan di sore itu. Kini aku merasa tidak ada siapa-siapa lagi di atas sana, mereka telah pergi meninggalkanku sendirian di sini. Bahkan istri dan anak-anakku yang amat aku sayangi itu telah jua berlalu. Mereka meninggalkanku begitu saja dalam kehampaan. Tetapi tiada yang perlu kukecewakan, tidak ada gunanya menunggui jasad kaku terbungkus kain kafan yang telah dihimpit bumi ini.

Aku sudah siap. Sebentar lagi malaikat-malaikat itu mungkin akan datang dengan pertanyaan-pertanyaannya yang standar. Pertanyaan-pertanyaan yang telah kuketahui sejak kecil dari guru mengajiku dan aku sudah siap dengan jawaban-jawabanku kalau memang malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang.

Siapa Tuhanmu? Maka aku akan menjawab Allah.

Siapa nabimu? Maka aku akan menjawab Muhammad.

Apa kitabmu? Maka aku akan menjawab Al-Quran.

Beres!

Aku sudah menghafalnya di luar kepala jauh sebelum aku sadar kalau suatu saat aku pasti akan mengalami hal seperti ini, terkurung dalam sepi. Kalau malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang, aku begitu yakin akan lulus ujian. Lalu, aku akan tidur nyenyak sampai hari kebangkitan datang.

Sesaat kemudian kutemukan jasadku dalam kabut tiada batas. Aku merasa tubuh telanjangku menggigil kedinginan. Aku bisa merasakan kulitku yang membeku, bibirku kaku, gigiku berisik, lidahku kelu. Dalam kebekuanku, aku mencoba untuk menggerakkan jasadku yang kaku, tetapi tak bisa. Jasadku betul-betul telah kaku.

Saat ini aku memang telah menjadi mayat. Kutengadahkan mukaku ke atas yang ada hanya kabut, kabut, dan kabut. Aku terdiam dalam sepi kegelisahanku. Aku terkurung dalam sepi. Aku masih diam dalam sepiku, ketika sesuatu tiba-tiba menghentakkan sepiku. Bumi disekelilingku bergemuruh, lalu berguncang seperti gempa. Guncangannya sangat keras, entah berapa skala richter. Aku panik, akan tetapi apa dayaku, aku tak bisa berbuat apa-apa.

Aku merasakan kehadiran makhluk lain selain aku di sini. Mungkin malaikat yang pernah dikatakan oleh guru mengajiku itu saat ini telah berada di sini bersamaku. Sepintas dalam kegelapan kabut, kulihat cahaya dua sosok asing menghampiriku. Mungkin mereka itulah malaikat yang bernama Munkar dan Nakir[1]. Entah mengapa ketakutan tiba-tiba mencengkramku. Tubuhku semakin menggigil, bergetar sekencang guncangan bumi barusan. Kini dua makhluk asing itu telah berdiri dihadapanku, memandangi jasadku. Kabut membuat mereka tidak dapat terlihat dengan jelas, samar-samar yang terlihat hanya cahaya sosok tubuh mereka dan benda berbentuk seperti palu godam dalam genggamannya. Aku semakin yakin inilah kedua malaikat itu, Munkar dan Nakir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline