Saat mendegar kata demokrasi, mungkin yang ada di benak kita adalah sesautu yang berkaitan dengan negara beserta konstitusinya. Namun, makna sebuah demkorasi lebih luas dari sekedar itu.
Demokrasi adalah pondasi bangsa, dimana demokrasi memberikan ruang bagi kita sebagai masyarakat untuk mengekspresikan kebebasan berbicara, kebebasan bersosialisasi, serta kebebasan dalam dalam bersyerikat.
Dari kebebasan inilah muncul sesuatu kekuasan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam mengatur negara. Namun, bagaimana jika demokrasi yang kita sayangi ini dilemahkan oleh penyakit bernama otokrasi? Jawabanya mudah dan sederhana, Sakit.
Penyebab demokrasi sakitnya banyak sekali. Salah satunya adalah pemahaman masyarakat tentang otokrasi. Otokrasi adalah sistem pemerintahan yang kekuasaan absolut atas suatu negara terkonsentrasi di tangan satu orang. Masyarakat yang masih awam tentang apa itu otokrasi dan bagaimana ciri-ciri utama dari penyakit itu. Kemudian dilanjutkan dari sistem imunitas masyarakat yang kurang untuk menghadapi penyakit otokrasi.
Hal ini dapat kita lihat bersama di belahan dunia lain, masyarakat terkikis imunitasnya kala pemilu presiden di Amerika pada tahun 2017 dan pemilu 2019. Momentum pemilu itu membuat rakyat Amerika Serikat dari kubu pendukung Partai Republik mudah sekali terpapar virus otokrasi, yang mana menyebabkan masyarakat pendukungnya tidak mempercayai hasil yang demokratis dalam pemungutan suara. Penyakit seperti ini tidak semata-mata muncul seketika, tapi sudah ada gejalanya yang bisa kita cegah dari awal penyebarannya.
Gejala pertama, munculnya calon wakil masyarakat yang populis. Seroang populis atau demagog ini biasanya muncul bersama keresahan masyarakat di golongan kelas masyarakat menengah kebawah, yang mana biasanya digaungkan secara terus menerus oleh sang calon populis.
Mungkin nantinya sang calon ini berhasil menghilangkan kegelisahan masyarakat kita. Namun cara yang digunakan biasanya tidak demokratis dan cenderung power abuse. Kita dapat mengambil fakta historis dalam pemilihan Presiden Fujimori dari Peru pada tahun 1990.
Awalnya Fujimori seorang akademisi kampusdaerah Peru yang hanya ingin meraih kursi di dewan senat, pada waktu yang sama kondisi Peru yang saat itu dilanda krisis berat. Kondisi tersebut membawa ketidakpercayaan kalangan masyarakat menegah-kebawah terhadap partai-partai politik lama yang ada di Peru sejak lama. Masyarakat mengaungkan wacana perubahan untuk kondisi yang bernatakan dalam krisis yang melanda.
Melihat kesempatan ini Fujimori tak tinggal diam melihat peluang besar tersebut, ia mengunakan wacana populisnya untuk mengambil hati masyakarakat. Hal itu berjalan dengan sukses, namun akibatnya masyarakat Peru terjebak dalam pusaran otokrasi populisme selama bertahun-tahun dengan timbulnya konfllik sosial internal.
Gejala kedua, lemahnya komitmen pada aturan main demokratis serta penyangkalan atas legitimasi lawan politik. Biasanya calon-calon ini menyebutkan lawan politiknya sebagai pelaku yang makar atau pun menentang tatanan kontitusional yang ada. Mungkin kita pernah mendengarknya, dari calon yang menuduh lawannya tak memenuhi syarat dalam mengikuti pemilihan umum ataupun juga calon yang mengunakan cara-cara yang diluar konstitusional (merubah aturan main) untuk dapat mengikuti pemilihan umum.
Menurut fakta historis, hal ini terjadi di Amerika Selatan, tepatnya di negara Venezuela. Kala seorang mantan Presiden Rafael Caldera, membukakan pintu istana untuk seorang calon demagog bernama Hugo Chavez. Chavez sendiri merupakan seorang perwira militer yang gagal memimpin kudeta pada 1992.