Lihat ke Halaman Asli

Membangun MCK, Memahami Tatanan Budaya Kampung Padat Penduduk

Diperbarui: 15 Februari 2016   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah kesibukan mengawali proyek rehabilitasi MCK Kobak Kampung Cikini, Anwar mendapati urukan tanah sudah membumbung tinggi sementara dia tahu persis bahwa masalah pondasi dan pemipaan belum dipikirkan dengan matang. Menghadapi kebingungan Anwar, Pak Salim pemborong lokal warga Cikini langsung menenangkan dengan menyatakan ia sudah memiliki metode tersendiri. Warga sekitar pun tak urung ikut berkomentar. “50 cm gak ketinggian tuh” ujar salah seorang warga. Belum usai perdebatan mengenai ketinggian urukan, datang pak Legi, warga pemilik kandang yang selama ini menempati sudut belakang MCK. Rupanya dia masih berharap ada upaya yang bisa dilakukan agar kandang ayamnya tetap dipertahankan dan tidak tergusur. Semakin hari semakin banyak masukan datang, yang entah harus ditanggapi atau tidak.


[caption caption="Pembangunan MCK"][/caption]

Situasi tersebut merupakan pemandangan sehari-hari selama kurang lebih empat bulan pengerjaan renovasi MCK Kobak RT 14/RW 01 Kampung Cikini Kelurahan Pegangsaan Jakarta. Kegiatan community engagement ini didanai Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, dipimpin oleh dosen Arsitektur UI Evawani Ellisa. Anwar Bahir yang baru lulus sarjana Arsitektur sehari-hari bertugas sebagai arsitek sekaligus pengawas jalannya pembangunan. Sesuai dengan prinsip arsitektur untuk komunitas, renovasi MCK dilakukan dengan tetap mengikuti tatanan budaya masyarakat setempat dan melibatkan warga. Terlepas dari kebingungan dalam menyikapi reaksi warga saat bepartisipasi dalam proses pembangunan, komentar-komentar warga merupakan cerminan tatanan budaya masyarakat setempat yang patut didengar dan dipahami.

Mempelajari tatanan budaya Kampung Cikini melalui MCK bukanlah sesuatu yang aneh. MCK tidak hanya sekedar wadah yang menaungi aktivitas hajat hidup sehari-hari dalam urusan mandi-cuci-kakus, tetapi juga merupakan bagian dari interaksi sosial antar warga. Simak definisi MCK menurut Badan Standarisasi Nasional, yaitu “fasilitas umum yang digunakan secara komunal untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air di lingkungan pemukiman padat penduduk”. Definisi ini perlu digarisbawahi pada kata ‘komunal’ dan ‘pemukiman padat penduduk’. Bila diletakkan pada konteks Kampung Cikini yang merupakan kampung urban, membicarakan MCK yang digunakan beramai-ramai secara tak langsung juga membicarakan kebiasaan perilaku masyarakat dalam berkomunitas.

Mengutip Funo, profesor Jepang yang bertahun-tahun menekuni kampung, sistem maupun nilai-nilai sosial yang berlaku di kampung adalah ciri kuat yang menandai karakter kampung sebagai sebuah komunitas yang mandiri. Penduduk kampung yang hidup dalam serba keterbatasan ekonomi, ruang aktivitas, fasilitas umum, maupun aspek kehidupan lainnya, dalam pergulatan keseharian di kampung padat terpaksa harus berimprovisasi dengan keadaan lingkungan yang serba terbatas pula.

Kembali pada konteks Kampung Cikini, MCK Kobak merupakan perwujudan dari improvisasi masyarakat RT 14 dan sekitarnya. MCK yang didirikan sekitar tahun 1960 ini telah beberapa kali mengalami renovasi, hingga terakhir pada tahun 2012 warga berinisiatif untuk mengembangkan MCK dengan menambahkan fungsi balai warga di lantai dua.

Kondisi MCK sebelum direhabilitasi oleh tim UI ini sangat jauh dari layak. Orang yang terbiasa mandi di toilet pribadi tentu akan sulit membayangkan bagaimana ia harus buang air dan mandi di MCK ini. Pertama, tidak ada ruang kakus kecuali sebuah lubang seadanya yang berfungsi sebagai kakus. Kedua, ruang mandi sekaligus berfungsi sebagai ruang cuci. Ketiga, bukaan yang langsung berhadapan dengan ruang luar hanya ada pada satu sisi bangunan, menyebabkan ruangan menjadi gelap dan lembab. Terakhir, jangan heran apabila hasil buangan air besar mengambang di sungai belakang MCK karena memang kakus darurat dibuat tanpa septic tank. Satu-satunya hal yang patut disyukuri adalah setidaknya area pria dan wanita dipisah.

 

 

Tetapi harus kembali disadari bahwa kita berbicara dalam konteks kampung, di mana segala tatanan yang dianggap normal dapat diimprovisasi asal seluruh warga sepakat. Berdasar pengamatan Anwar terhadap sebagian besar MCK yang ada di kampong Cikini, disimpulkan bahwa warga dapat dengan mudah berbagi ruang untuk melakukan kegiatan-kegiatan privatnya.

Saat pengamatan bagaimana MCK di kampung digunakan, Anwar sempat mendengar pembicaraan ibu-ibu yang hendak mencuci di MCK dan menemukan bahwa ada orang lain yang sedang mandi. Tak diduga, respon yang diberikan ibu tersebut amat sederhana. “Eh, sedang mandi, Bu?” dan kemudian terjadi perbincangan panjang antara kedua ibu tersebut. Sebuah respon yang menunjukkan kondisi yang tak biasa bagi kita, mandi sambil mengobrol dengan orang lain – tergenangi air cucian pula.

Pada dasarnya, pusat dari kegiatan di dalam MCK adalah sumur. Apabila hanya ada satu pengguna, maka aktivitas akan terpusat pada sekitar sumur. Namun bila ada lebih dari satu pengguna, mereka akan melakukan penyesuaian terhadap pembagian area, seperti area mandi yang paling dekat dengan sumur, dilanjutkan dengan area cuci dan area buang air. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline