Keadaan terkini Pendidikan Tinggi Vokasi (PTV) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bagaimana awal mula PTV masuk ke Indonesia. PTV masuk ke Indonesia medio tahun 70-an, dimana waktu itu pemerintah Swiss membantu pendirian Politeknik Mekanik Swiss-Intitut Teknologi Bandung (PMS-ITB) [1]. Program politenik ini mengadopsi program Technikerschule (TS) yang ada di Swiss. Nantinya program politeknik ini diselenggarakan juga oleh Perguruan Tinggi (PT) non politeknik dengan nama Sekolah Vokasi (SV) seperti di UGM ataupun Fakultas Vokasi (FV) seperti di ITS.
Rumpun politeknik, SV dan FV dikenal juga dengan nama Pendidikan Tinggi Vokasi (PTV). Walaupun mirip, namun ada beberapa perbedaan mendasar antara TS dan PTV ini. Jika TS dirancang sebagai program lanjutan bagi apperenticeship (setara SMK di Swiss), PTV dirancang untuk menerima lulusan sekolah menengah umum (SMU). Karena alasan ini, jika TS bisa ditempuh hanya dalam 4 semester (2 tahun), PTV harus ditempuh dalam 6 semester (3 tahun). 1 tahun pertama pendidikan PTV digunakan untuk mengkompensasi pengetahuan dan keterampilan teknis yang belum dipelajari di sekolah menengah umum.
Jika dilihat sekilas, hal di atas bukanlah masalah yang besar. Namun jika digali lebih dalam lagi, ada banyak implikasi dari pelaksanaan pendidikan PTV seperti ini. Implikasi pertama adalah karena dipersiapkan untuk menerima siswa SMU, seleksi awal program PTV lebih bersifat kognitif seperti matematika, fisika dan biologi. Hal ini mengakibatkan siswa Sekolah Menengah Vokasi (SMV) kesulitan untuk masuk ke PTV [2].
Hal ini mengakibatkan implikasi kedua, yaitu lulusan PTV yang hanya mengenyam pendidikan vokasi selama 3 tahun tidak sebaik lulusan TS yang mengenyam pendidikan vokasi selama 5 tahun (3 tahun pada apperentice+2 tahun pada TS) [3]. Implikasi yang ketiga adalah karena dirancang untuk menerima siswa SMU, alih-alih mendidik ahli vokasi sebagaimana TS, PTV hanya menjadi "last resort" siswa SMU yang tidak tertampung di universitas [4]. Keempat, kembali karena alasan dirancang untuk siswa SMU, ada semacam rantai yang putus antara SMV dan PTV.
Kurikulum PTV yang seharusnya melanjutkan SMV lebih condong ke kurikulum pendidikan sarjana. Implikasi yang kelima adalah pendidikan PTV yang berdurasi 75% dari pendidikan sarjana (3 tahun berbanding 4 tahun). Hal ini berbeda dari desain asalnya di Swiss, dimana durasi pendidikan TS hanya 50% dibanding pendidikan sarjana, sehingga tidak terrasa tanggung. Implikasi keenam adalah karena berdurasi 3 tahun, lulusan sarjana dari luar negeri yang kebanyakan berdurasi 3 tahun, disetarakan dengan diploma-3 ketika melakukan proses penyetaraan ijazah [5-6].
Sebenarnya langkah awal yang sudah diambil pemerintah untuk mengadopsi PTV dari Swiss merupakan langkah yang sangat tepat. Dunia sudah mengakui keberhasilan pelaksanaan pendidikan vokasi di Swiss ini [7]. Bahkan tidak kurang dari negara superpower Amerika Serikat ingin mengadopsi sistem apprenticeship dari Swiss [8]. Angka pengangguran usia muda yang rendah adalah indikator utama keberhasilan pendidikan SMV di Swiss, sekaligus penyebab banyaknya negara yang ingin mengadopsi sistem serupa [9].
Di Swiss, 70% dari siswa merupakan lulusan SMV, sedangkan sisanya (30%) merupakan lulusan SMU. Pertanyaannya adalah bagaimana sebuah negara industri maju, siswanya lebih banyak masuk ke SMV dibanding SMU, sementara di Indonesia yang negara berkembang perbandingannya 50:50 [10]. Jawabannya adalah karena (1) adanya sistem peminatan (tracking system) [11] dan (2) persentase kegagalan universitas yang tinggi mencapai 50% [12]. Saat siswa di Swiss berusia sekitar 12 tahun, dilakukan penjurusan menurut minat dan kemampuan siswa. Siswa yang minat dan kemampuannya lebih condong ke akademis, masuk ke SMU, sedang yang minat dan kemampuannya lebih condong ke vokasi masuk ke SMV.
Berbeda dengan peminatan di Indonesia yang lebih berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua siswa, peminatan di Swiss lebih didominasi kemampuan dan minat. Faktor ini dikombinasikan dengan resiko kegagalan di universitas tinggi membuat siswa di Swiss lebih memiliih SMV. SMV menjadi tetap diminati dan tidak dijadikan sebagai "sekolah buangan".
Agaknya faktor yang membuat Swiss melakukan sistem peminatan ini adalah kesadaran negara tersebut akan rasio 1:2:7 [13]. Rasio 1:2:7 menyatakan bahwa di setiap organisasi perbandingan antara perencana jangka panjang yang membutuhkan kualifikasi master/doktor, perencana jangka pendak yang membutuhkan kualifikasi sarjana, dan pelaksana ahli yang memiliki kualifikasi diploma adalah 1:2:7.
Secara logika hal ini sangatlah masuk akal. Misalkan di suatu perusahaan semua karyawan berkualifikasi doktor, tetap akan ada doktor yang bertugas membuat rencana jangka panjang sebagai manajer, doktor yang membuat rencana jangka pendek sebagai manajer menengah dan doktor sebagai pelaksana harian. Swiss menyadari bahwa tidak semua orang harus berkualifikasi sarjana, apalagi master dan doktor, harus ada mayoritas penduduk yang bekerja sebagai pelaksana ahli. Mereka ini yang nantinya akan mengelas, masasang kabel-kabel, memasang sistem kendali, memasang komponen-komponen mesin dan lain-lain.
Oleh sebab itu Swiss membatasi siswa yang bisa masuk ke SMU yang nantinya berhak melanjutkan pendidikan ke universitas. Negara-negara dengan sistem peminatan pendidikan dan pembatasan universitas seperti Swiss, Jerman dan Singapura memiliki angka pengangguran usia muda yang rendah [13]. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut liberalisasi pendidikan dengan sistem peminatan pendidikan dan pembatasan universitas yang longgar seperti Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia. Negara-negara ini memiliki angka pengangguran usia muda yang lebih tinggi. Hal ini karena semua siswa berlomba-lomba masuk ke universitas.