Surabaya, 09 April 2015
Dua hari lalu, tepatnya Selasa, 07 April 2015, kami membawa rombongan para calon peneliti Riset Ethnografi Kesehatan tahun 2015 ke masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedatangan kami bersama 60 calon ethnografer di sini untuk belajar pada Suku Tengger tentang kehidupan keseharian mereka.
***
Pertama kali memasuki wilayah Ngadiwono, terbersit pertanyaan sebagai ekspresi keterkejutan saya, “Ini bukan di Jakarta kan? Jangan-jangan ini di pojokan Surabaya?” bagaimana tidak? Perkampungan yang kami datangi sungguh jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangan saya dengan pengalaman beberapa tahun lalu berkunjung di wilayah Tengger ini. Perkampungan Tengger di Ngadiwono ini sungguh jauh melampaui ekspektasi saya.
Perkampungan Tengger di Desa Ngadiwono kali ini lebih mirip perkampungan di pojokan sebuah kota metropolis sebangsa Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Crowded, penuh sesak! Setiap rumah saling berhimpitan, dengan hampir tidak menyisakan halaman rumah sama sekali. Meski masih ada juga menyisakan beberapa rumah dengan halaman yang lebih luas khas pedesaan.
Tapi jangan salah, lebih dari 95% penduduk di wilayah ini berprofesi sebagai petani. Kondisi perumahan yang padat dan penuh sesak hanya ada di wilayah pemukiman saja. Sementara sebagian tanah di wilayah pegunungan Tengger ini merupakan lahan kebun sayur yang sangat luas dan subur.
Hasil sayuran utama di wilayah ini adalah kobis, kentang dan wortel. Meski juga masih ada komoditi tanaman lain semacam jagung, ketela, bawang, cabe, dan beberapa sayuran lainnya. “Orang sini lebih suka tanaman yang umurnya pendek mas…,” terang mas Sug, lelaki asli Tengger berumur 38 tahun yang juga berprofesi sebagai petani, saat saya mintai penjelasan tentang kecenderungan menanam sayur mayor tersebut.
Dengan kondisi masyarakat yang hampir seluruhnya bertani, maka tentu saja membawa konsekuensi pada kultur budaya yang mempunyai kecenderungan seperti wilayah agraris lainnya. Hampir seluruh waktu masyarakat Tengger pada siang hari, terutama yang dewasa, berada di kebun. Sementara di rumah menyisakan anak-anak dan beberapa orang tua yang sudah tidak seberapa kuat untuk menjalankan aktivitas secara fisik di kebun.
Konsekuensi inilah yang membuat banyak aktivitas rumah tangga yang bagi masyarakat lain umumnya dilakukan di rumah, menjadi bergeser ke kebun, termasuk di dalamnya ‘bercinta’. Bagaimana bisa? Kebiasaan masyarakat Tengger yang berangkat ke kebun berdua dari pagi, bekerja keras merawat kebun, hingga pulang pada sore harinya, membuat sedikit waktu yang tersisa untuk mengerjakan aktivitas lainnya.
“…lha kalo pulang kan sudah capek mas. Kan habis nyangkul-nyangkul di kebun…,” kilah mas Har. Lelaki berumur 33 tahun ini sudah menghasilkan dua anak laki-laki hasil ber’kebun’ bersama Nah, istrinya yang malu-malu saat suaminya bercerita tentang hal tersebut.
Kondisi di kebun dengan angin pegunungan yang semilir, serta keadaan yang cukup sepi, cukup mampu membangkitkan romantisme saat hanya berduaan dengan pujaan hati. Tidak ada ‘gangguan’ anak-anak yang bisa merusak suasana romantis yang terbangun, bukannya mereka sedang menunggu rumah. Aman terkendali.