Pembiayaan usaha pertanian di Indonesia dalam masa globalisasi dan ancaman kekurangan pangan secara Global masih belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam hal memberikan regulasi yang tepat agar dapat menjaga kesetabilan produksi dan harga di tingkat petani. Seperti diketahui, Karakteristik usaha pertanian adalah sektor Riil, memiliki sifat usaha yang mengandung banyak resiko; kegagalan panen, mahalnya agri input, harga komoditas yang fluktuatif, dan memerlukan penangganan penyimpanan untuk menjaga stok.
Hal hal ini menyebabkan analisa usaha pertanian tidak menarik untuk dibiayai oleh perbankan yang hanya bergerak di sektor moneter, bila dibiayai, proporsi penyaluran kredit hanya dilakukan dengan skema pinjamanan dengan bunga yang tinggi (bunga komersial) , atau seleksi ketat memilih usaha yang memiliki nilai komersial tinggi (high return investment) atau merupakan perpanjangan tangan (chanelling) dari program pemerintah yang dananya terbatas.
Pembangunan pertanian Indonesia secara merata masih tergolong bersifat tradisional minim teknologi, situasi ini menjadi kendala dan sangat berat bila diharapkan menjadi industri pertanian yang hanya dibiayai kekuatan pendanaan lokal, menyebabkan pendapatan petani masih minim, dan penyerapan bahan baku beralih ke kota daerah lain yang padat modal dalam pengolahan bahan mentah.
Keterbatasan modal ini menjadikan masyarakat lokal tidak mampu mengakses teknologi yang lebih baik dan menahan panennya untuk mendapatkan harga terbaik, terlebih juga akan menghambat kegiatan lokal yang bersifat added value untuk memenuhi permintaan kualitas pasar modern.
Hal lain yang perlu dicermati adalah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, dan memiliki produksi agraris yang berlimpah, namun dalam pengaturan usahanya belum kerkoneksi antara keduanya, yaitu pertanian yang Islami.
Sejarah Pembiayaan Pertanian Desa.
Dalam sejarahnya perhatian pemerintah sejak pemerintahan Belanda sudah memfokuskan pada pola pola pembiayaan mikro dan telah mensukseskan kemajuan perekonomian pertanian dijamannya, dengan terbentuknya Bank Desa, Lumbung Desa, Badan Perkreditan Rakyat, dan sistem pembiayaan dengan pembayaran dengan hasil panen yang sangat umum dilakukan. Mekanisme pembiayaan ini merubah tatanan peraturan Tuan tanah (Land Lord) yang membiayai seluruhnya, menjadi tanah milik petani, namun pendanaan dan untuk kebutuhan agri inputnya, petani tetap berhutang kepada land lord, dengan jaminan pembayaran dengan hasil, atau mengadai tanahnya sebagai jaminan. Praktek land reform yang tadinya ingin membantu petani berakibat semakin miskinnya petani karena semakin lama tanah yang digarap tidak menghasilkan panen yang cukup untuk membayar hutang dan kebutuhan sehari hari.
Pembiayaan pertanian dan UKM yang menawarkan bunga lebih rendah dari bunga komersial pun semakin meningkat, terbukti dengan serapan bantuan KUR meningkat drastis di hampir semua bank penyalur. Namun bila ditelusuri, penyerapan sektor pertanian lebih rendah dari penyerapan sektor non-pertanian, seperti industri rumahan dan kerajinan.
Dalam usaha pertanian system bagi hasil sudah dikenal sejak dahulu, namun karena keterbatasan teknologi dan penerapannya, sebagian lahan yang di marginalkan menjadi tidak subur lagi, meninggalkan permasalahan baru untuk mengejar bagi hasil yang sesuai dan menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Penyaluran kredit dengan bunga murah dalam prakteknya sangat terbatas kepadaadanya kelompok petani yang terhimpun dan melakukan kegiatan secara bersamaan, dalam hal ini, BPR dan Bank yang menyaluran kredit mikro terkadang masih mengharuskan petani dan pengusaha tani memberikan jaminan berupa surat tanah, ataupun surat berharga lainnya.
Di beberapa tempat, pengijon dan individu yang meminjamkan uang dengan tanpa jaminan terkadang malah menjadikan petani sebagai object pendapatan yang diharuskan membayar dengan tingkat bunga yang lebih tinggi, sehingga terkadang meresahkan masarakat, namun selalu menjadi solusi cepat pada saat yang dibutuhkan.