Lihat ke Halaman Asli

Hukuman untuk Anak SMA yang "Menistakan Agama", Lebay!

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berlebihankah Hukuman itu diberikan kepada anak2 yang melecehkan shalat?

Sebelumnya saya mohon maaf, saya menulis ini bukan berarti saya mendukung apa yang dilakukan anak-anak itu, tapi saya hanya sedikit mengkritisi hukuman yang menurut saya berlebihan.

Beberapa hari ini publik Indonesia khususnya yang muslim, dibuat panas oleh aksi lima gadis SMA yang mengunggah video “Shalat style” yang cukup seksi. Video yang isinya gerakan shalat yang diselingi tari-tarian erotis itu berhasil menjadi trending hujatan, dan sumpah serapah para penontonnya. Hasilnya pun seperti yang mereka harapkan, menjadi terkenal seketika.

Saya juga awalnya malu melihat video ini. Norak tingkat tinggi. Mungkin mereka pikir bakal booming seperti keong racun atau harlem shake. Entah apa motif mereka membuat video seperti ini. Tapi yang pastinya untuk “fun” saja. Sayangnya mereka lupa bahwa kesenangan yang dibuatpun harus ada batasannya.

Saya awalnya tahu video ini dari akun facebook Ebbi Buchu shangad, seorang ABG yang menurut saya cukup imut. Sayang, Akun ini sudah dihapus oleh pemiliknya. Mungkin pemiliknya benar-benar depresi dan stress menghadapi tekanan dan hujatan dari jutaan orang.

Pelajar-pelajar  ini menurut saya terlalu polos untuk melakukan penistaan agama. Mereka hanya berekspresi, walau berekspresi dengan cara yang salah menurut kacamata  masyarakat umum. Dan saya yakin, tidak ada niatan dari mereka untuk menistakan agama. Lihat saja, kalau mereka sengaja menistakan agama, alangkah bodohnya mereka menggunakan seragam olahraga dengan nama sekolah yang sangat jelas, SMA2 Tolitoli. Bukankah itu sama saja dengan menabrakkan diri ke mobil truk lalu terpental ke jurang.

Saya sendiri, ketika di bully melalui media sosial karena kesalahan yang saya lakukan, rasanya itu seperti langit runtuh, dan hari esok tidak akan muncul lagi. Padahal kesalahan itu tidak sengaja saya lakukan. Perlu waktu lebih dari satu bulan untuk bisa bangkit lagi, instropeksi dan belajar menjadi lebih baik. Padahal yang mem-bully saya hanya beberapa orang. Dan kesalahan pun sebenarnya tak pernah ada. Saya dianggap salah hanya karena saya berbeda pendapat.

Sekarang kita lihat hukuman berat yang didapat oleh anak-anak kelas XII SMA itu, di-bully oleh jutaan orang pengguna internet , dikeluarkan dari sekolah, tak bisa ikut UN, dikucilkan Masyarakat, berurusan dengan polisi, depresi berat, dan hal-hal lain yang membuat kita merasa seakan-akan mati itu jauh lebih baik.

Ayolah, coba berpikir sejenak, apakah semua hukuman itu efektif. Kenapa semua pihak jadi menyalahkan mereka? Kenapa hukuman yang mereka dapat terlalu lebay untuk anak-anak yang memang kurang diajar.

Mengapa kalian tak menyalahkan Orang Tua mereka yang medidik mereka di rumah?

Mengapa kalian tak menyalahkan Guru mereka yang mengajar mereka di sekolah?

Mengapa kalian tak menyalahkan Ulama yang seharusnya membimbing Agama dengan benar?

Mengapa tak menyalahkan Sistem pendidikan yang nilai moralitas nya minus?

Anda tahu, betapa menyakitkannya dibully di internet? stress dan depresi luar biasa. Kecuali jika anda adalah provokator SARA yang justru tertawa terbahak-bahak ketika di tanggapi oleh responder dengan amarah.

Sudahlah. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Tapi saya harap, mereka masih bisa melanjutkan sekolah supaya bisa ikut UN walau harus mengulang. Kan sayang mereka sudah kelas tiga SMA tapi malah dikeluarkan dan tidak ada satu sekolahpun yang mau menerima mereka. Saya harap ada pesantren yang mau berbaik hati memberbaiki mereka, membimbing mereka dengan benar. Mereka memang salah, tapi bukan berarti mereka tidak berhak untuk berubah menjadi lebih baik.

Untuk kementerian pendidikan, ahhh sudahlah.. percuma saya koar-koar di sini.. kenapa? Bayangkan, saat ditanya oleh wartawan mengenai desakan untuk  mundur, pak menteri malah mundur ke belakang, benar-benar melecehkan kritik orang. Atau mungkin, otaknya memang sedang tidak dipakai. Yang jelas jawaban seperti itu bukanlah jawaban yang bijak untuk orang sekaliber menteri. Saya sendiri sudah apatis dengan sistem pendidikan di negeri ini. Entah berapa kali saya meneteskan airmata tiap melihat anak-anak yang menantang maut hanya untuk sekolah, kekurangan guru, gedung sekolah yang lebih mirip kandang atau rumah hantu, dan masalah UN yang super amburadul.

Anak-anak itu adalah korban. Kita  dan termasuk saya adalah korban dari sistem pendidikan yang memaksa kita mengejar nilai, mengejar ijazah, bukan skill, bukan pengembangan bakat, dan bukan pembentukan moral apalagi memperkokoh fondasi agama.Sistem yang memaksa kita untuk menghalalkan segara cara untuk mendapat nilai.

Ekskul Rohis yang seharusnya bisa menjadi suplemen untu pengetahuan agama islam malah dituduh-tuduh membentuk teroris oleh salah satu TV swasta. Belakangan banyak sekolah yang malah acuh terhadap ekskul yang satu ini. Klop sudah, pendidikan agama dan moral kurang, lalu ekskul rohis diremehkan. Hasilnya Video pelecehan shalat,Video syahwat buatan anak SMA, Tawuran dan hal-hal lain yang justeru jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri.

Salam

Adi Yuza

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline