Lihat ke Halaman Asli

Adiyoga Ilman Huda

Data Analyst Politika Research and Consulting (PRC), Mahasiswa Filsafat UIN Jakarta

Desak Anies: Wajah Baru Demokrasi Deliberatif Indonesia

Diperbarui: 6 Maret 2024   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilu 2024 telah memasuki tahap akhir, namun masih menyisakan berbagai dinamika yang menarik untuk diikuti. Meskipun prosesi pencoblosan telah usai, proses penghitungan suara Capres-Cawapres masih berlangsung dengan intensitas. Saat tulisan ini dibuat, penghitungan suara sudah mencapai 78,09 persen di laman resmi KPU.

Atmosfer pemilu masih terasa sangat hangat, dengan berbagai reaksi atas hasil penghitungan sementara pilpres yang bergeliat di ruang publik. Ada yang merespon dengan deklarasi kemenangan, ada yang merespon dengan tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Semua respon tersebut adalah hal yang wajar, karena setiap pihak pasti ingin menang dalam sebuah pertandingan. Namun, semua pihak harus tetap mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan apapun.

Salah satu hal menarik yang dapat ditemukan dalam proses berjalannya pemilu 2024 adalah hidupnya kembali ruang publik untuk menguji kapasitas dari seorang calon pemimpin. Tradisi tersebut tentu tidak dapat terlepas dari buah pikiran seorang Anies Rasyid Baswedan dengan kampanyenya yang bertajuk “Desak Anies”.

Dalam hemat saya, agenda “Desak Anies” yang diinisiasi oleh Anies Rasyid Baswedan telah mampu menciptakan ruang publik yang bebas dan setara. Mengapa demikian? karena dalam acara ini, masyarakat dari berbagai lapisan sosial dapat menguji kapasitas calon pemimpin dengan beragam pertanyaan. Penggunaan terminologi “Desak” menggambarkan tujuan ruang publik; mendorong calon pemimpin untuk memberikan jawaban konkret dan solusi yang memuaskan.

Fenomena ini menjadi oase di tengah minimnya partisipasi publik dalam menguji kredibilitas calon pemimpin pada pemilu sebelumnya, dan merupakan warisan baik untuk pendewasaan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Konsep ruang publik yang diusung dalam acara ini sejalan dengan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Habermas, yang menekankan pentingnya diskusi terbuka dan konsensus dalam mengarahkan kebijakan pemerintah.

"Desak Anies" adalah platform pembelajaran yang Anies Baswedan hadirkan untuk Indonesia, menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Pendekatan konsultatif yang dilakukan oleh pemerintah idealnya berlangsung dalam ruang publik, sejalan dengan konsep diskursus publik yang dikemukakan oleh Habermas. Dialog ini sangat penting karena transparansi alasan di balik kebijakan pemerintah adalah prasyarat utama. Diskusi tentang kebijakan harus dilakukan sebelum pelaksanaannya, untuk memastikan bahwa manfaatnya dapat dirasakan oleh semua warga negara.

Kampanye secara umum bertujuan untuk meningkatkan nilai elektoral calon. Dalam konteks "Desak Anies", fokusnya bukan hanya pada nilai elektoral, tetapi juga pada pendidikan demokrasi. Meski begitu, konversi kampanye menjadi suara elektoral tetap menjadi tujuan utama. Pertanyaannya, apakah "Desak Anies" efektif dalam hal ini?

Sebelum membahas efektivitas "Desak Anies", mari kita analogikan demokrasi di Indonesia seperti lahan pertanian yang telah lama dikelola dengan pupuk kimia. Hasilnya melimpah, namun tanah menjadi rusak. Untuk memperbaiki tanah, diperlukan pertanian organik, yang membutuhkan waktu dan hasil awalnya mungkin tidak besar. Pasar hasil pertanian organik juga terbatas, hanya untuk kelompok tertentu yang terdidik.

Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Anies Baswedan melalui "Desak Anies". Kondisi demokrasi di Indonesia sudah rusak, dan "Desak Anies" berusaha untuk memperbaikinya. Melalui "Desak Anies", calon pemimpin diuji kapasitasnya sebelum pemilihan. Ini menjadi ruang konsultasi publik bagi calon pemimpin, sehingga kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan publik.

Demokrasi di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh populisme, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. "Desak Anies" berusaha mengubah hal ini, meski memerlukan waktu dan energi besar. Meski konversi ke elektoral mungkin tidak signifikan, terutama di kalangan target kampanye (Gen Z, Gen Y, dan masyarakat berpendidikan menengah atas), namun ini merupakan langkah penting untuk pendewasaan demokrasi.

Premis tersebut akan saya buktikan dengan hasil exit poll yang dimiliki oleh Politika Research & Consulting (PRC) pada pemilu 2024. Pada pemilih dengan rentang umur 20-24 tahun pasangan 02 unggul 66,5 persen. Baseline pemilih pada rentang usia tersebut merupakan yang tertinggi dan keunggulan pasangan 02 dalam rentang umur tersebut juga yang tertinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline