Lihat ke Halaman Asli

Cerita Radio

Diperbarui: 21 Januari 2016   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat radio diatas lemari yang lusuh itu saya jadi ingat cerita simbah  yang bertutur bahwa pada masa kecil bapak saya untuk mendengarkan radio itu harus pergi ke kantor kecamatan yang jaraknya 3 kilometer dari rumah simbah. Radio dan telepon pertama di kecamatan adalah satu-satunya alat informasi dan komunikasi modern kala itu.  Tahun 1960-an dengan sangu kacang godog dan kopi untuk mendengarkan siaran ketoprak dari RRI bapak dan simbah saya bersemangat jalan kaki. Sampai di kecamatan bapak dan simbah tidak sendirian, sudah berjubel masyarakat yang tak kalah antusias seperti nonton Star Wars jaman sekarang ehehe...

Radio menjadi media informasi yang vital kedua setelah  koran pada masa kolonial, penjajahan jepang dan masa revolusi kemerdekaan. RRI menjadi radio pemerintah setelah merebutnya dari tangan jepang. Pada era 1950-an agar bangsa ini dapat menikmati siaran radio Bung Karno menasionalisasi Phillips menjadi merk Ralin. Siaran radio tidak terbatas pada berita-berita tentang pergerakan nasional, namun juga hiburan rakyat yang berupa sandiwara radio, musik kerontjong, orkes melayu dan sebagainya. Pada masa 1960-an  nama-nama yang pernah menjadibintang radio antara lain Upit sarimanah, Ellya khadam, Emma gangga dan tentunya Darmosugondo yang wartawan RRI sekaligus penyiar yang syahdu.  

Siapa Darmosugondo? Beliau adalah wartawan sekaligus penyiar RRI, penyiar dan komentator kesayangan Bung Karno. Cara kerja darmosugondo itu cepat bicaranya cepat, bagaimana Rosihan Anwar menyanjung DS dalam Petite Histoire pada saat liputan kunjungan Nikita Krushchev; "amat mengagumkan melihat mulut Darmosugondo bergerak terus. Saya lihat di Surabaya, Darmosugondo berada diatas tribun sedang memberikan laporan pandangan mata.saya berdiri dibawah memerhatikan Darmosugondo in action. Mulutnya komat-kamit terus."Bung karno tidak akan memulai sebuah acara kalau belum Darmosugondo ada. Wah Darmosugondo yang wong solo itu memang pantas menjadi kesayangan Bung Karno hehe.

Di zaman modern yang belum mencapai klimaksnya ini pembaca yang budiman yang dari era lawas tentu masih ingat pada sandiwara radio. Dari radio hanya memperdengarkan suara dialog, musik dan pelbagai efek suara untuk membangkitkan imajinasi pendengarnya. Judul-judul cerita sandiwara radio seperti mak lampir, saur sepuh dan lain sebagainya pada eranya mengalami kejayaan yang muskil untuk saat ini.

Meskipun sekarang beberapa radio masih setia memperdengarkan sandiwara radio namun sudah kalah pamor dengan tayangan televisi dan internet. Pada era 40-an sandirawa radio sudah mulai diperdengarkan di Indonesia, nama besar Usmar Ismail sebagai bapak Film Nasional merupakan salah satu tokoh yang menulis lakon sandiwara radio. di Hoosho Kyoku (radio pusat kebudayaan Jepang).

Para pelakon sandiwara radio yang ditulis Usmar Ismail diantaranya adalah Rosihan Anwar, sanusi pane dll. Prinsip-prinsip  dramaturgi yang dipakai untuk menulis cerita menghasilkan sandiwara seperti naskah Api yang dipentaskan. Sandiwara radio yang cukup menjadi perbincangan pada masa pendudukan Jepang adalah cerita  Djaja Widjaja yang merupakan cerita gubahan. Judul tersebut mengisahkan sejarah bangsa Indonesia yang dibagi dalam  zaman sriwidjaja dan majapahit, zaman belanda dan zaman jepang yang dibawakan satu oleh pelaku alias monolog dengan background music yang menggelorakan imajinasi pendengarnya.

Masa keemasan siaran radio aku pikir telah lewat tergantikan dengan pelbagai perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini. Ada stasiun radio yang masih mencoba bertahan ditengah gempuran perkembangan peradaban(?). selain RRI masih ada radio swasta yang mengusung budaya sebagai materi siaran.sebagai contoh di Nganjuk Jawa Timur ada stasiun radio yang menggunakan bahasa Jawa penuh, acara yang dipancarkan mengusung budaya Jawa seperti wayang, gending-gending, sandiwara radio dan lain-lain. Tidak "menghasilkan" secara finansial tapi aku pikir radio tersebut sadar secara kultural untuk mengusung nilai-nilai lebih. Semoga radio tetap bangga menyuguhkan citarasa budaya begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline